Bagikan:

JAKARTA - PDI Perjuangan terus melakukan serangan balik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat eks komisioner KPU Wahyu Setiawan dan salah satu caleg mereka yaitu Harun Masiku yang masih buron.

Perlawanan ini dilakukan dengan menggunakan amunisi baru yaitu, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 112/P/2019 yang isinya terkait pemberhentian dengan hormat lima pimpinan KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo cs.

Tim hukum PDIP menganggap dengan adanya Keppres ini, maka surat perintah penyelidikan (Sprinlidik) yang ditandatangani oleh Agus Rahardjo tidak sah. Sebab, begitu Keppres ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 21 Oktober 2019, artinya pimpinan KPK saat itu tak berhak menyetujui penindakan.

Menanggapi serangan PDIP itu, KPK justru meminta tim hukum bentukan partai berlambang banteng itu membaca Keppres Nomor 112/P/2019 dengan seksama.

"Pak Maqdir orang yang paham betul tentang hukum. Kami sangat menyayangkan karena (Maqdir) tidak membaca secara utuh Keppres 112/P 2019 tersebut," kata Plt Jubir KPK Ali Fikri kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 17 Januari.

Jaksa penuntut umum (JPU) KPK ini mengatakan, benar ada Keppres Nomor 112/P/2019. Hanya saja, Keppres ini baru berlaku setelah lima pimpinan KPK diambil sumpah jabatannya dan dilantik di Istana Kepresidenan bukan saat keputusan itu ditandatangani.

Hal ini, kata Ali juga tercantum dalam diktum ketiga keputusan itu. "Di sana pada prinsipnya dinyatakan bahwa berhentinya atau selesainya pimpinan KPK yang lama itu adalah sejak kemudian ada pelantikan ataupun adanya pengambilan sumpah jabatan dari pimpinan KPK yang baru," jelas Ali sambil menambahkan jika Ketua KPK periode 2019-2023 Firli Bahuri dan empat wakilnya dilantik pada 20 Desember 2019 sekitar sore hari.

Sehingga bila Sprinlidik kemudian ditandatangani Agus pada 20 Desember 2019 dan dilakukan saat pagi hari, berdasarkan diktum ketiga, dia masih berhak menyetujui penyelidikan terhadap kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 yang diduga menyeret nama Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

Selain menjawab soal waktu penandatangan Sprinlidik yang menjadi amunisi PDIP, Ali juga mempertanyakan keaslian surat perintah yang belakangan menyebar hingga dipermasalahkan oleh politikus partai tersebut.

Sebab, selama ini KPK tak pernah memberikan Sprinlidik terhadap pihak eksternal termasuk pihak yang berkepentingan dalam perkara itu.

"Tentang keasliannya juga kami tidak masuk ke sana. Apakah itu asli atau palsu. Karena yang jelas bahwa kami dari KPK tidak pernah memberikan surat perintah penyelidikan kepada pihak mana pun selain pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan perkara," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, PDI Perjuangan telah membentuk tim hukum yang bertugas mengkaji kasus suap yang menjerat mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan caleg dari PDIP Harun Masiku terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI. Setelah dibentuk, tim hukum ini kemudian mempermasalahkan surat perintah penyelidikan (Sprilindik) dalam kasus tersebut.

"Sprinlidik tanggal 20 Desember itu ada yang harus kita perhatikan secara baik adalah bahwa keppres pemberhentian pimpinan KPK lama itu diteken pada 21 Oktober 2019," kata anggota tim hukum DPP PDI Perjuangan, Maqdir Ismail kepada wartawan di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 15 Desember.

Berdasarkan Keppres itu, kata Maqdir, seharusnya pimpinan lembaga antirasuah tidak punya hak untuk melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan penyelidikan.

"Ketika 21 Oktober mereka diberhentikan dengan hormat sampai tanggal 20 Desember sebelum pimpinan baru disumpah, pimpinan KPK itu tidak diberi kewenangan secara hukum untuk melakukan tindakan-tindakan apa yang selama ini jadi kewenangan mereka," tegas dia.

Tak hanya soal sprilindik tersebut, pengacara eks Ketua DPR Setya Novanto ini juga menyinggung soal mantan Wakil Ketua KPK yang pernah mundur dan pengembalian mandat yang dilakukan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahrardjo bersama dua mantan wakilnya Saut Situmorang dan Laode M Syarif pada bulan september lalu.

Menurut dia, ketiga orang ini sudah mundur dari jabatannya dan keputusan yang diambil tidaklah sah termasuk dalam penindakan tidak sah.

"Jangan lupa ketika pimpinan KPK dengan UU KPK lama itu sifat dari kegiatan mereka adalah kolektif kolegial. Ketika ada tiga orang yang sudah mengundurkan diri, mestinya tidak sah, tidak bisa dilakukan proses hukum oleh mereka. Itu saya kira yang penting," ungkapnya.