Menakar Sistem Proporsional Tertutup Ala PDIP
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - PDI Perjuangan merekomendasikan kembali metode pemilihan anggota legislatif melalui sistem proporsional tertutup. Fraksi PDIP di DPR akan memperjuangkan ini agar Undang-Undang Pemilu bisa direvisi sesuai dengan rekomendasi partai.

Usulan ini mendapat pro-kontra. Sebab, menurut UU Nomor 7 Tahun 2017, pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka yang artinya masyarakat yang punya hak pilih bisa memilih langsung partai dan calon yang bakal duduk di parlemen. 

Sementara, pengertian sistem proporsional tertutup adalah masyarakat hanya memilih partai peserta pemilu dan partai yang menentukan kadernya duduk di DPR. 

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan rekomendasi yang disampaikan oleh PDIP usai Rakernas I pada 12 Januari tersebut merupakan sebuah langkah mundur. Sebab, kata dia, sistem ini bakal menjadikan kompetisi yang tidak sehat antar calon legislator.

"Ini merupakan langkah mundur dan akan menjadikan tidak adanya kompetisi sehat diantara caleg. Karena caleg yang akan (masuk ke DPR) jadinya sudah ditentukan oleh partai," kata Ujang kepada wartawan VOI lewat pesan singkat, Selasa, 14 Januari.

Selain menimbulkan kompetisi tidak sehat, menurut Ujang, sistem proporsional tertutup ini akan menumbuhkan oligarki dan dinasti politik. "Nanti yang jadi lingkaran inti adalah pemilik partai, anak, istri, suami, kakak, adik, paman, dan lain-lain," tegasnya.

Dihubungi terpisah, pengamat politik LIPI, Aisah Putri Budiarti menilai, perbincangan mengenai sistem pemilu proporsional memang kerap terjadi tiap perumusan revisi UU Pemilu akan dilakukan.

Apalagi, kebanyakan partai menganggap, sistem pemilu proporsional terbuka justru menimbulkan kompetisi yang cukup keras. Selain soal kompetisi, sistem pemilu terbuka semacam ini juga membuat biaya pemilu semakin mahal, terutama untuk biaya kampanye.

"Hal itu tentunya memberatkan partai sementara membatasi peran partai dalam hal ini, yaitu posisi partai yang hanya terbatas pada menentukan caleg dan nomor urutnya tetapi tidak bisa menentukan caleg terpilih," kata Putri.

Berkaca dari anggapan tersebut, tak heran PDIP punya kecenderungan untuk mengubah sistem pemilu yang saat ini sudah berjalan.

Namun, Puput justru memberikan prespektif lain. Kata dia, sebelum melakukan penggantian sistem pemilu, sebaiknya pemerintah harusnya kembali melakukan evaluasi terhadap sistem yang sudah berjalan secara utuh, bukan hanya pada pemilu legsislatif. 

"Dari evaluasi itu, kita kemudian tahu kelemahan kombinasi sistem pemilihan kita selama ini, bagaimana hasil dan dampaknya," ungkap dia.

Setelah melakukan evaluasi dan tahu soal dampaknya, Puput menilai, pemerintah bisa menentukan pilihan dan kombinasi sistem terbaik untuk pemilu di masa depan. "Para pembuat kebijakan harus memikirkan tentang arah format dan hasil pemilu apa yang diharapkan menjadi dasar bagi pilihan sistem terbaik," tegasnya.

Mencari formula terbaik

Politikus Partai Gerindra Andre Rosiade masih mengaji soal sistem proporsional pemilu yang paling baik diterapkan pada periode berikutnya. Dia ingin, aturan yang dibuat tidak merugikan rakyat.

"Partai Gerindra masih mempelajari yang paling tepat, paling pas untuk tahun 2024 mendatang. Bagaimana rakyat merasa tidak dirugikan mengenai hak pilihnya dan partai bisa berperan yang terbaik untuk kehidupan demokrasi bangsa," kata Andre ketika dihubungi VOI, Selasa, 14 Januari.

Sementara politikus Partai Golkar, Dave Laksono mengatakan sistem pemilihan tertutup memang lebih baik untuk dilaksanakan. Sebab, partai jadi punya kendali menentukan siapa calon legislator yang bakal ditempatkan di kursi parlemen.

"Dengan (sistem pemilu) proporsional tertutup memang partai lebih menentukan siapa-siapa saja yang jadi atau tidak," kata dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 14 Januari.

Namun, lanjut dia, sistem pemilu memang harusnya dilakukan secara proporsional terbuka agar masyarakat bisa lebih leluasa dalam memilih perwakilan mereka.

"Parpol kan sudah menyaring tetapi semua yang dicalonkan itu sudah ada stempel jaminan mutu dari partai. ketika itu dicalonkan, masyarakat yang menentukan dan di situ masyarakat diyakinkan oleh calon-calon tersebut," tegasnya.

Sementara Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan menilai, daripada memperdebatkan sistem proporsional terbuka dan tertutup, lebih baik sistem pemilihan ke depan menggabungkan keduanya.

"Kita sadari proporsional terbuka itu juga menimbulkan persoalan, tetapi proposional tertutup juga menimbulkan masalah baru juga karena demokrasi. Mungkin yang lebih bagus gabungan, antara terbuka dan tertutup," kata Syarief.

Cara penggabungan ini, kata dia bisa dilakukan dengan pembagian yang melibatkan partai. "Mungkin sekian kursi sekian persen itu adalah hak partai, tetapi sisanya terbuka. Mungkin begitu, tetapi sistem itu beberapa negara juga mengadopsi sistem itu," jelas dia.

Usai Rakernas I PDIP digelar, partai berlambang banteng ini menghasilkan sembilan rekomendasi eksternal. Salah satunya adalah meminta Fraksi DPR RI PDI Perjuangan untuk memperjuangkan perubahan UU Pemilu mengembalikan Pemilu Indonesia kembali menggunakan sistem proporsional tertutup dan meningkatkan ambang batas parlemen sekurang-kurangnya 5 persen.

"Rakernas I PDI Perjuangan 2020 merekomendasikan kepada DPP Partai dan Fraksi DPR RI PDI Perjuangan untuk memperjuangan perubahan UU Pemilu untuk mengembalikan Pemilu Indonesia kembali menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, peningkatan ambang batas parlemen sekurang-kurangnya 5 persen," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto usai gelaran acara tersebut pada 12 Januari yang lalu.