KPAI Soroti Maraknya Pengeroyokan dan Tawuran Pelajar Sejak PTM Awal Tahun 2022
DOK VIA ANTARA/HO ISTIMEWA

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti banyaknya kasus pengeroyokan hingga tawuran sepanjang pembelajaran tatap muka (PTM) digelar sejak awal tahun 2022.

“Ternyata, masa pandemi COVID-19 tidak menghentikan para remaja terlibat tawuran. Selain tawuran, ada peristiwa pengeroyokan remaja terhadap seorang remaja yang videonya viral," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangannya, Jumat, 24 Juni.

Hasil pantauan KPAI, ada sejumlah daerah yang tercatat peristiwa tawuran pelajar, yaitu di Kabupaten Pati (Jawa Tengah), Jakarta Timur (DKI Jakarta), Kota Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat), Kabupaten Tangerang (Banten), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), dan Soppeng (Sulawesi Selatan).

Kemudian empat kasus pengeroyokan terjadi di Kota Cimahi (Jawa Barat), Kota Semarang (Jawa Tengah), Jakarta Selatan (DKI Jakarta) dan Kota Kotamobagu (Sulawesi Utara).

Salah satu kasus pengeroyokan berupa perundungan fisik yang disorot KPAI yakni kasus seorang siswa MTs di Kotamobagu, Sulawesi Utara.

Kasus penganiayaan tersebut dimulai saat korban akan ke musala untuk salat pada Rabu, 8 Juni. Ketika masuk ke musala, korban ditangkap dan dibanting ke lantai oleh teman-temannya. Kedua tangan korban dipegangi, wajah ditutup dengan sajadah dan tubuh korban ditendang.

Setelah peristiwa penganiayaan tersebut, korban sempat dibawa ke rumah sakit di Manado pada Sabtu, 11 Juni 2022. Sayangnya, nyawa korban namun tidak tertolong dan meninggal dunia pada 12 Juni 2022.

"Sungguh mengenaskan bahwa kejadiannya justru terjadi lingkungan sekolah, yang seharusnya merupakan lingkungan yang aman bagi peserta didik," tutur Retno.

Dari kasus-kasus ini, Retno mendorong para orang tua untuk memantau kegiatan anaknya secara berkala, seperti lewat media sosial sebagai bentuk pencegahan. Mengingat, pengeroyokan maupun tawuran, kerap kali diawali dengan saling bully di media sosial sehingga dapat menjadi pemicu.

"Seharusnya, orang tua maupun orang dewasa lain di sekitar anak harus ikut berteman dan memantau secara berkala aktivitas media sosial putra-putrinya, sehingga orang tua dapat mengantisipasi potensi terjadinya kekerasan fisik atau pengeroyokan," tutur Retno.

Selain itu, Retno juga mendorong pemerintah hingga satuan pendidikan membangun sistem pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah. Lalu, Retno turut meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk merevisi Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 terkait penanganan kekerasan dengan mendasarkan kepentingan terbaik bagi anak.

Retno memadang, selama ini peserta didik yang terlibat kekerasan selalu diberikan sanksi dikeluarkan dari sekolah atau tidak dinaikkan kelas. Dampak mengeluarkan siswa yang melakukan kekerasan bisa membuat peserta didik tersebut berhenti sekolah atau DO.

"Kalau pun diterima di sekolah lain, anak pelaku kekerasan belum tentu memiliki efek jera, bahkan kerap kali malah memindahkan kekerasannya di tempat lain. Pihak sekolah kerap kali tidak melihat akar masalah mengapa seorang anak melakukan kekerasan, disini peran guru Bimbingan Konseling (BK) dan wali kelas menjadi sangat penting," papar Retno.