Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan berhati-hati dalam mengembangkan kasus mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi ke arah dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Sikap hati-hati KPK ini dikarenakan mereka tak ingin dugaan ini berujung seperti vonis Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang dinyatakan tak melakukan tindak pencucian uang oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

"Kemarin Pak Nawawi (Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, red) pernah menyampaikan kemungkinan ada TPPU. Nah, ini kan baru kita kumpulkan karena belajar dari kasus TCW, kita harus hati-hati terhadap pengenaan pasal TPPU," kata Deputi Penindakan KPK Karyoto kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis malam, 22 Oktober.

Menurutnya, jika KPK berhasil membuktikan unsur tindak pidana dalam perkara Nurhadi ini, maka lembaga antirasuah ini akan menerapkan pasal TPPU. "Kalau kita sudah mendapatkan tindak pidana asal atau predicate crime-nya tentu kita akan naikkan lagi ke TPPU," tegasnya.

Dalam sidang dakwaan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis, 22 Agustus, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono didakwa dengan dua dakwaan sekaligus. Dia didakwa telah menerima gratifikasi sebanyak Rp37,2 miliar dan menerima suap sebanyak Rp45,7 miliar.

 

Sebelumnya, sejumlah pihak seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lokataru mendesak KPK menerapkan TPPU terhadap Nurhadi. Desakan ini muncul karena dari data yang mereka himpun, Nurhadi memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tak sesuai jika dilihat dari penghasilan resmi seorang Sekretaris Mahkamah Agung.

Dalam data tersebut, setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi seperti tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah; empat lahan usaha kelapa sawit; delapan badan hukum baik berbentuk PT ataupun UD; 12 mobil mewah; dan 12 jam tangan mewah.

Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 128/KMA/SK/VIII/2014 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya disebutkan jabatan Sekretaris Mahkamah Agung sebagai eselon 1 mendapat tunjangan khusus sebesar Rp32.865.000. Sementara gaji pokok pejabat eselon I sekitar Rp19 juta.

"Sehingga patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 22 Juli.

Dengan adanya fakta tersebut, Kurnia menegaskan KPK harusnya tidak hanya berhenti pada dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi saja. Harusnya, sambung dia, lembaga antirasuah memulai penyelidikan untuk masuk dalam kemungkinan menjerat Nurhadi dengan tindak pencucian uang. 

"Tidak hanya itu, KPK diharapkan juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya," tegas dia.