KPK Masih Dalami Dugaan Pencucian Uang Eks Sekretaris MA Nurhadi
Mantan Sekretaria MA Nurhadi (Foto: Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih melakukan pendalaman terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diduga dilakukan oleh mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. 

Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan Ali Fikri mengatakan, pihaknya memang telah mendapatkan sejumlah bukti terkait dugaan pencucian uang yang dilakukan oleh Nurhadi namun mereka masih perlu waktu untuk melakukan telaah lebih jauh.

"Beberapa bukti petunjuk sudah kami kumpulkan namun lebih dahulu akan ditelaah lebih lanjut terutama terkait dengan unsur tindak pidana asal atau predicate crime dalam kasus tersebut," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 21 Oktober.

Sementara terkait kasus gratifikasi yang menjerat Nurhadi dan menantunya, Riezky Herbiyono, rencananya sidang perdana pembacaan dakwaan akan dilaksanakan Kamis, 22 Oktober di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

"Sesuai penetapan Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta Pusat, persidangan perdana atas nama terdakwa Nurhadi dkk dengan agenda pembacaan surat dakwaan akan dilaksanakan Kamis, 22 Oktober jam 10.00 WIB," ungkapnya.

Diketahui, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Bambang Nurchayo juga telah membenarkan sidang akan dilaksanakan pada Kamis pekan ini. Dia mengatakan sidang tersebut akan dipimpin oleh Saefudin Zuhri selaku ketua majelis hakim serta Duta Baskara dan Sukartono selaku hakim anggota.

Dalam kasus ini, KPK menjerat keduanya dengan Pasal 12 A atau Pasal 11 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 12 B UU Tindak Pidana Korupsi.

Adapun Nurhadi bersama menantunya ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi Rp46 miliar. Penetapan tersangka ini dilakukan ketika KPK masih diketuai oleh Agus Rahardjo.

Suap tersebut diduga berkaitan dengan pengurusan perkara perdata di Mahkamah Agung. Sementara terkait gratifikasi, Nurhadi diduga menerima hadiah berkaitan dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. 

Sebelumnya, sejumlah pihak seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lokataru memang mendesak KPK untuk menerapkan TPPU terhadap Nurhadi.Desakan ini muncul karena dari data yang mereka himpun, Nurhadi memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tak sesuai jika dilihat dari penghasilan resmi seorang Sekretaris Mahkamah Agung.

Dalam data tersebut, setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi seperti tujuh aset tanah dan bangunan dengan nilai ratusan miliar rupiah; empat lahan usaha kelapa sawit; delapan badan hukum baik berbentuk PT ataupun UD; 12 mobil mewah; dan 12 jam tangan mewah.

Padahal, berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 128/KMA/SK/VIII/2014 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya disebutkan jabatan Sekretaris Mahkamah Agung sebagai eselon 1 mendapat tunjangan khusus sebesar Rp32.865.000. Sementara gaji pokok pejabat eselon I sekitar Rp19 juta.

"Sehingga patut diduga harta kekayaan tersebut diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 22 Juli.

Dengan adanya fakta tersebut, Kurnia menegaskan KPK harusnya tidak hanya berhenti pada dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi saja. Harusnya, sambung dia, lembaga antirasuah memulai penyelidikan untuk masuk dalam kemungkinan menjerat Nurhadi dengan tindak pencucian uang. 

"Tidak hanya itu, KPK diharapkan juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya," tegas dia.