JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan tersangka dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway. Direktur PT Diratama Jaya Mandiri dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang itu ditahan selama 20 hari ke depan.
"Tim penyidik melakukan upaya paksa terhadap IKS (Irfan Kurnia Saleh) berupa penahanan selama 20 hari terhitung mulai 24 Mei sampai 12 Juni di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih," kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 24 Mei.
Dia ditahan setelah sebelumnya diperiksa sebagai tersangka. Dalam kasus ini, 30 orang saksi sudah dimintai keterangan.
Lebih lanjut, Firli mengatakan kasus ini berawal pada 2015 saat Irfan bersama Lorenzo Pariani yang merupakan pegawai perusahaan Agusta Westland bertemu dengan Mohammad Syafei yang saat itu menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara. Pertemuan tersebut dilakukan di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.
Dari pertemuan itu, akhirnya dibahas tentang pelaksanaan pengadaan helikopter AW-101 VIP atau VVIP TNI AU.
Sebagai agen, Irfan kemudian memberikan proposal dengan mencantumkan harga satu unit helikopter mencapai 56,4 juta dolar Amerika Serikat. "Di mana harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar Amerika Serikat dengan ekuivalen Rp514,5 miliar," jelas Firli.
Berikutnya, pada akhir tahun 2015, panitia pengadaan memanggil Irfan dan menunjuk langsung perusahaannya sebagai pemenang proyek. Tapi, hal ini tertunda karena arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena kondisi perekonomian yang belum mendukung.
Baru pada 2016, pengadaan helikopter ini dilanjut dengan nilai kontrak Rp738,9 miliar dengan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.
"Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan IKS dalam menghitung nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) kontrak pekerjaan," ungkap Firli.
Lebih lanjut, Firli mengatakan, Irfan aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) bernama Fachri Adamy. Kemudian, dia juga diduga menyiapkan dua perusahaan miliknya yang kemudian disetujui.
Tak hanya itu, dugaan kecurangan juga muncul karena Irfan menerima pembayaran sebesar 100 persen dari nilai kontrak. Padahal, ada beberapa jenis pekerjaan yang tak sesuai spesifikasi.
BACA JUGA:
"Di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda," jelas Firli.
Akibat perbuatannya, Irfan diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar. Dia disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.