Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap pelaksanaan pengadaan helikopter AW-101 yang dilakukan oleh TNI Angkatan Udara (AU) sempat terhenti. Penyebabnya, karena masalah kondisi ekonomi pada 2015 lalu.

Hal ini disampaikan Ketua KPK Firli Bahuri saat membeberkan konstruksi dugaan korupsi yang menjerat Direktur PT Diratama Jaya Mandiri dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway pada hari ini, Selasa, 24 Mei.

Awalnya, Firli mengungkap kasus ini berawal pada 2015 saat Irfan bersama Lorenzo Pariani yang merupakan pegawai perusahaan Agusta Westland bertemu dengan Mohammad Syafei yang saat itu menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran TNI Angkatan Udara. Pertemuan tersebut dilakukan di wilayah Cilangkap, Jakarta Timur.

Dari pertemuan itu, akhirnya dibahas tentang pelaksanaan pengadaan helikopter AW-101 VIP atau VVIP TNI AU.

Sebagai agen, Irfan kemudian memberikan proposal dengan mencantumkan harga satu unit helikopter mencapai 56,4 juta dolar Amerika Serikat.

"Di mana harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar Amerika Serikat dengan ekuivalen Rp514,5 miliar," jelas Firli dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan Selasa, 24 Mei.

Berikutnya, pada akhir tahun 2015, panitia pengadaan memanggil Irfan dan menunjuk langsung perusahaannya sebagai pemenang proyek. Namun, proyek ini ditunda.

"Adanya arahan pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional," ujarnya.

Namun, penundaan ini berakhir pada 2016. Saat itu, pengadaan helikopter AW-101 itu dilanjut dengan nilai kontrak mencapai Rp738,9 miliar dan metode lelang melalui pemilihan khusus yang hanya diikuti oleh dua perusahaan.

"Dalam tahapan lelang ini, panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mempercayakan IKS dalam menghitung nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) kontrak pekerjaan," ungkap Firli.

Lebih lanjut, Firli mengatakan, Irfan aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) bernama Fachri Adamy. Kemudian, dia juga diduga menyiapkan dua perusahaan miliknya yang kemudian disetujui.

Tak hanya itu, dugaan kecurangan juga muncul karena Irfan menerima pembayaran sebesar 100 persen dari nilai kontrak. Padahal, ada beberapa jenis pekerjaan yang tak sesuai spesifikasi.

"Di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda," jelas Firli.

Dalam kasus ini, Irfan diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp224 miliar dari nilai kontrak Rp738,9 miliar. Dia kemudian ditahan selama 20 hari hingga 12 Juni di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih KPK.

Irfan disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.