JAKARTA - PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) diduga melakukan tindak korupsi dengan nilai mencapai Rp10 triliun. Dugaan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.
Mahfud bahkan menduga, korupsi di tubuh perusahaan asuransi pelat merah yang mengurusi TNI, Polri dan ASN Kementerian Pertahanan itu punya modus operandi yang sama dengan kasus yang terjadi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya. Untuk memastikan adanya kesamaan antara dua kasus tersebut, Mahfud mengatakan, pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tengah melakukan validasi.
"Iya, modus operandinya sama (dengan PT Jiwasraya). Akan mungkin ada beberapa orangnya yang sama. Tapi nantilah, yang penting itu akan dibongkar karena itu melukai hati kita semua," kata Mahfud kepada wartawan di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, 13 Januari.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menjelaskan, jika hasil validasi dari pihak BPK sudah selesai dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah menentukan jalur hukumnya, seperti akan dibawa ke mana dan siapa saja yang telah melakukan tindakan tersebut. "Nanti kita akan proporsional kalau kasus itu sudah ada (jelas)," tegasnya.
BACA JUGA:
Selain menunggu hasil validasi dari BPK, dalam waktu dekat, Mahfud juga akan memanggil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Kata dia, pemanggilan ini belum bisa dilakukan saat ini mengingat Erick sedang berada di luar negeri menjalankan tugasnya.
"Minggu ini, kan masih pada di luar negeri semua itu Pak Erick dan sebagainya, jadi kita akan panggil dan kemudian akan jalan," ungkap Mahfud sambil menambahkan kasus ini harus tetap diusut seperti permintaan Presiden Joko Widodo.
"Karena Presiden sendiri itu sudah mengatakan semua kasus korupsi itu harus dibongkar. Bukan hanya dibongkar, dibawa ke pengadilan lah," imbuhnya.
Diketahui, dugaan korupsi di tubuh asuransi pelat merah ini bukan hanya baru terjadi kali ini. Sebelumnya, Asabri juga pernah dililit masalah korupsi di tahun 2007 yang dilakukan oleh mantan Direktur Utama mereka yaitu Mayor Jenderal (Purnawirawan) Subarda Midjaja.
Setelah proses persidangan, di bulan April 2008, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Subarda dengan hukuman lima tahun penjara. Dalam sidang yang dipimpin hakim Sarpin Risaldi, Subarda terbukti bersalah melakukan pidana korupsi.
Selain divonis lima tahun, Subarda juga dihukum denda Rp30 juta subsider 6 bulan penjara serta harus mengganti kerugian negara sebesar Rp33,6 miliar. Vonis ini jauh lebih rendah dari tuntutan sebelumnya.