JAKARTA - Untuk pertama kalinya sejak invasi Rusia ke Ukraina, dua jenderal top Amerika Serikat dan Rusia, andalan Presiden Joe Biden dan Vladimir Putin menjalin komunikasi, membahas situasi terkini yang terjadi.
Adalah Ketua Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley, berbicara di telepon dengan Kepala Staf Umum Militer Rusia Jenderal Valery Gerasimov, menurut Departemen Pertahanan AS, Kamis kemarin.
"Para pemimpin militer membahas beberapa masalah terkait keamanan yang menjadi perhatian dan sepakat untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka," kata juru bicara Ketua Kepala Staf Gabungan AS, melansir Reuters 20 Mei.
"Sesuai dengan praktik sebelumnya, detail spesifik dari percakapan mereka akan dirahasiakan," tambah juru bicara itu.
Pembacaan militer AS tidak menyebutkan masalah spesifik apa pun yang dibahas.
Sementara itu, Kantor berita RIA, mengutip Kementerian Pertahanan Rusia, mengatakan kedua pemimpin militer membahas isu-isu kepentingan bersama, termasuk Ukraina.
Komunikasi kedua petinggi militer masing-masing negara tersebut terjadi setelah Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin berbicara dengan mitranya dari Rusia pekan lalu, dengan Kepala Pentagon menyerukan gencatan senjata segera di Ukraina.
Diketahui, Amerika Serikat dan Rusia telah membuat hotline sejak invasi, yang disebut Moskow sebagai operasi militer khusus, dimulai pada 24 Februari untuk mencegah salah perhitungan dan pelebaran konflik.
Hotline 'deconfliction' adalah saluran telepon terbuka yang berbasis di markas Komando Eropa di Stuttgart, Jerman dan berada di bawah Jenderal Angkatan Udara Tod Wolters, yang memimpin semua pasukan AS di Eropa.
BACA JUGA:
Berbicara di Brussels, Belgia pada Hari Kamis, Jenderal Wolters mengatakan dia berharap pembicaraan antara Jenderal Milley dan Jenderal Gerasimov adalah satu langkah lebih dekat ke solusi diplomatik di Ukraina.
Namun, tampaknya ada sedikit momentum di bidang diplomatik, lebih dari dua bulan setelah dimulainya invasi Rusia, yang telah menyebabkan ribuan orang tewas atau terluka, membuat kota-kota menjadi puing-puing dan memaksa lebih dari 5 juta orang mengungsi ke luar negeri.