Bagikan:

JAKARTA - Bukan cuma serikat buruh yang menggugat Omnibus Law UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Ada karyawan kontrak dan freelance ikut meminta uji materi UU yang sempat memunculkan gelombang demonstrasi di berbagai daerah. 

Dikutip dari laman MK, Kamis, 15 Oktober, Dewa Putu Reza (pemohon I), karyawan kontrak dan pemohon II, Ayu Putri tenaga lepas (freelance) memberi kuasa kepada Seira Tamara Herlambang dan Zico Leonard Djagardo untuk mendaftarkan permohonan uji materi  UU Cipta Kerja ke MK. 

Dalam permohonan yang diterima MK, Senin, 12 Oktober, pemohon menjelaskan kedudukan hukum (legal standing) sesuai penjelasan pada Pasal 51 ayat 1 UU Mahkamah Konstitusi.

Pemohon I, Dewa Putu Reza saat ini bekerja sebagai pegawai kontrak yang memiliki peluang untuk tidak diangkat sebagai pegawai yang dilindungi oleh Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sebab UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan waktu pembaruan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 

“Bahwa keberlakuan UU a quo akan merenggut hak pemohon I untuk mendapatkan imbalan kerja yang layak yang didapatkan dari ikatan kerja atas Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sebab tidak ada kepastian bahwa pekerja yang terikat atas PKWT akan mengalami pengangkatan pada batas waktu yang telah ditentukan dalam UU a quo,” papar pemohon. 

Sementara Ayu Putri, pemohon II merupakan perorangan yang saat ini sedang berusaha mencari kerja di tengah pandemi COVID-19. Pemohon II menjelaskan posisinya semakin mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup.

“Karena jika pemohon II mendapatkan pekerjaan, maka pemberi kerja melalu UU a quo berhak untuk memberikan status sebagai pekerja kontrak tanpa batasan waktu bagi pemohon II,” tulis pemohon.

Ada tiga alasan Ayu Putri dan Dewa Putu mengajukan judicial review UU Cipta Kerja ke MK. Pertama, penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil dan kepastian hukum bagi pekerja.

Kedua, penghapusan ketentuan minimal dalam pemberian pesangon dan uang penghargaan telah merampas hak pekerja akan pendapatan dan penghidupan yang layak. 

Alasan ketiga, penghapusan ketentuan istirahat mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja dan jam lembur yang diperbanyak telah menambah beban bagi pekerja sehingga mengakibatkan ketiadaan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Dalam petitumnya, pemohon meminta majelis hakim MK menyatakan Pasal 59, Pasal 156 ayat 2, Pasal 156 ayat 3, Pasal 79 ayat 2 huruf b dan Pasal 78 ayat 1 huruf b UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 27 ayat 2, Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28D ayat 2 UUD 1945.