JAKARTA - Undang-Undang Cipta Kerja sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal draf final baru sampai di Istana, Rabu, 14 Oktober.
Dilihat dari laman MK, permohonan uji materi UU Cipta Kerja diajukan Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa. Permohonan uji materi diterima MK pada Senin, 12 Oktober.
Dalam permohonannya, Ketum DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) Deni Sunarya dan Sekretaris Umum DPP FSPS, Muhammad Hafidz mengajukan permohonan pengujian Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29 dan angka 44 dari UU yang belum diberi nomor ini terhadap Pasal 28D ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945.
“Ketentuan Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29 dan angka 44 UU Cipta Kerja berpotensi merugikan hak-hak konstitusional anggota pemohon yang telah ditetapkan dalan Pasal 28D ayat 1 dan ayat 2 UU 1945. Potensi kerugian tersebut akan terjadi sebagai adanya sebuah sebab akibat dari akibat hukum adanya hingga berakhirnya hubungan kerja antara anggota pemohon dengan perusahan pemberi kerja tempat anggota pemohon bekerja,” kata pemohon.
BACA JUGA:
Dalam permohonan judicial review, FSPS menyebut ketentuan Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja tidak lebih baik dan justru menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan dan pembaruan perjanjian waktu kerja tertentu.
FSPS juga menyebut ketentuan Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 yang berbunyi ‘setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’. Sedangkan Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 berbunyi ‘setiap orang berhak untuk bekerja mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja’.
Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja menurut FSPS mengubah Pasal 156 ayat 2 dan ayat 3 UU Ketenagakerjaan. Pengusaha sambung FSPS diberikan pilihan untuk menetapkan besaran uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dengan batas atas.
“Artinya pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja. Bahkan dapat juga berarti melarang pengusaha (secara diam-diam) untuk membayar lebih tinggi sebagai makna dari frasa ‘paling banyak’ dalam perubahan Pasal 156 ayat 2 dan ayat 3 UU Ketenagakerjaan,” papar pemohon.