JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Menurutnya, keputusan MK dalah final dan mengikat. Karena itu, pemerintah dan DPR harus segera menginisiasi perbaikan UU tersebut.
Dikatakan Saleh, segala amar putusan yang mengikutinya harus ditaati. Termasuk tidak membuat aturan turunan dan tidak membuat kebijakan yang didasarkan atas UU tersebut.
"Pemerintah dan DPR harus mengambil keputusan. Pilihan terbaik adalah segera melakukan perbaikan. Waktu yang tersedia sangat sempit mengingat ruang lingkup dan jumlah pasal sangat banyak," ujar Saleh, Jumat, 26 November
Ketua Fraksi PAN DPR RI melihat putusan itu dari sisi positif. Menurutnya, dengan putusan ini tergambar jelas bagaimana independensi MK.
"Meskipun tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun dengan putusan seperti ini fungsi MK sebagai pengawal konstitusi sangat terasa," kata Saleh.
Di sisi lain, legislator Sumatera Utara itu menilai putusan ini akan menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan DPR. Terutama karena pengalaman membuat Omnibus Law masih sangat baru di Indonesia. Karenanya, menurut Saleh, sangat wajar jika MK memberikan koreksi dan perbaikan.
"Ke depan, jika ada agenda pembahasan RUU Omnibus Law atau RUU lainnya, semua catatan yang mengiringi putusan MK ini harus diperhatikan. Misalnya, keterlibatan dan partisipasi publik, harus merujuk pada UU 12/2011, berhati-hati dalam penyusunan kata dan pengetikan, serta catatan-catatan lain," jelas Saleh.
Saleh berharap putusan MK ini tidak menyebabkan adanya saling tuding dan saling menyalahkan.
"Yang perlu adalah bagaimana agar pemerintah dan DPR membangun sinergi yang baik untuk memperbaiki. Tentu dengan keterlibatan dan partisipasi publik secara luas dan terbuka," tandasnya.
BACA JUGA:
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Undang-undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang gugatan uji formil UU Cipta Kerja di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 25 November.
MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena cacat secara formil lantaran dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan.
Mahkamah menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.
Kemudian, mahkamah menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.
Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.