Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP, Rahmad Handoyo, mendorong pemerintah melakukan terobosan baru guna mempercepat penciptaan dan produksi vaksin dalam negeri. Termasuk, membuat vaksin untuk penyakit hepatitis akut yang mulai meneror masyarakat Indonesia. 

“Untuk mengantisipasi penyakit hepatitis akut misterius serta penyakit-penyakit menular yang diakibatkan virus lainya kita mendorong pemerintah untuk lebih berdikari dan berdaulat di bidang kesehatan terutama di penciptaan vaksin,” ujar Rahmad Handoyo kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 16 Mei.

Legislator PDIP Dapil Jawa Tengah itu mengatakan, belajar dari pengalaman penanganan pandemi COVID-19 dan munculnya penyakit hepatitis akut misterius, bisa dikatakan bahw Indonesia terlambat dalam penciptaan kemandirian dibidang vaksin.

“Saat ini kita pandemi masih mendatangkan 100 persen vaksin dari luar negeri, sementara vaksin merah putih masih dalam proses. Kondisi ini kan membuktikan kita sangat terlambat dalam membuat vaksin dalam negeri karena vaksinasi kesatu, kedua dan sudah hampir selesai, vaksinasi tinggal sedikit yakni vaksin booster,” katanya.

Rahmad menilai, secara keilmuan Indonesia tidak kalah dengan negara-negara lain dalam menciptakan vaksin. Sebab menurutnya, ilmu dan teknologi untuk menciptakan vaksin sama saja.

“Mungkin yang menjadi kendala, adalah masalah anggaran. Kita tahu, untuk melakukan uji klinis hingga tahap ketiga dibutuhkan anggaran hingga ratusan miliar. Karena itu ke depan kita akan mendorong pemerintah untuk memberikan dukungan anggaran," sebutnya. 

"Kita selaku bangsa harus bisa membuat vaksin sendiri, tidak tergantung vaksin dari luar negeri,” sambungnya.

Rahmad menyebut ada dua manfaat nyata jika Indonesia berdaulat dan mandiri dibidang vaksin. Pertama, vaksin bisa memenuhi kebutuhan bangsa sendiri sehingga Indonesia bisa lebih awal melindungi rakyatnya dan tidak tergantung dari vaksin dari luar negeri. 

"Kedua, anggaran devisa kita akan lebih hemat karena tidak lagi membeli vaksin dari luar negeri," sebutnya.

Mengingat dibutuhkan anggaran yang besar untuk melakukan uji klinis vaksin, tambahnya, bisa saja terlebih dahulu fokus penelitian dilakukan uji praklinis di tingkat laboratorium yang tidak membutuhkan terlalu besar biaya.

“Kalau memang ternyata penyakitnya tidak berlanjut membahayakan ya, sudah tidak usah lagi dilanjut kepada tahap klinis uji klinis satu dua dan tiga karena ternyata penyakitnya bisa dikendalikan,” katanya.

Namun demikian, menurut Rahmad, BRIN harus segera menjadikan penelitian kesehatan terutama penemuan vaksin agar menjadi prioritas. Termasuk segera melakukan percepatan penelitian virus hepatitis akut serta penyakit lainya.

Rahmad berharap, Indonesia tidak sampai terlambat atau kecolongan lagi dalam penciptaan vaksin seperti penemuan vaksin COVID-19. Dikatakannya, jika ada ledakan yang berwujud kepada pandemi, maka Indonesia selaku bangsa sudah siap jika sudah bisa memproduksi vaksin sendiri.

“Ingat, vaksin adalah salah satu senjata kita dalam menangkal penyakit akibat virus yang menular," tandasnya.