JAKARTA - Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menilai ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold yang berdasarkan pada hasil pemilihan anggota DPR menyimpang dari prinsip presidensialisme.
"Dalam sistem presidensial sebenarnya tidak ada hubungan antara hasil pemilu legislatif dengan syarat pencalonan presiden. Juga tidak ada ambang batas pencalonan presiden atas dasar hasil pemilu legislatif sehingga seharusnya ada lebih banyak figur yang bisa masuk dalam pemilihan presiden," kata Saiful pada program Bedah Politik bersama Saiful Mujani episode "Calon Presiden Tanpa Ambang Batas?" yang tayang di kanal Youtube SMRC TV dilansir Antara, Kamis, 12 Mei.
Dia mencontohkan pada pemilihan presiden di Prancis yang baru selesai, jumlah calon presiden ada 12 pasangan.
Padahal, kata Saiful, Prancis tidak menganut sistem presidensial murni. Mereka menganut sistem semipresidensial, campuran antara parlementarisme dengan presidensialisme. Itu pun pencalonan presidennya cukup terbuka.
"Tidak ada threshold yang besar seperti di Indonesia. Walaupun yang dimuat oleh media hanya Macron dan Le Pen, sebenarnya ada 12 pasangan calon," ujarnya.
Di Amerika Serikat, lanjut Saiful, negara yang menjadi model sistem presidensialisme dunia, syarat untuk menjadi calon presiden cukup sederhana: yang penting dia kelahiran Amerika, tinggal tetap di Amerika minimal 14 tahun, berumur minimal 34 tahun, dan tidak melakukan tindakan kriminal.
"Tidak ada syarat lain, misalnya, harus dari partai politik, apalagi partai politik dengan jumlah kursi tertentu di Kongres atau DPR seperti di Indonesia. Bisa begitu saja seseorang menyatakan diri sebagai calon presiden. Kalau dia menghabiskan dana lebih dari 5 ribu dollar dalam kampanye, maka ia diharuskan daftar ke KPU. Begitu sederhana," paparnya.
Pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat Tahun 2020, yang banyak diketahui hanya Donald Trump melawan Joe Biden, padahal calon yang maju ada 36 pasangan.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini menyatakan bahwa secara konstitusional, peluang untuk memperluas pencalonan presiden ada karena threshold 20 persen, 15 persen, 4 persen, atau 0 persen tidak tercantum di dalam konstitusi.
"Itu adalah aturan dalam undang-undang. Itu merupakan tafsiran politik DPR terhadap konstitusi. Dalam konstitusi, hanya ada pernyataan bahwa calon presiden diusulkan oleh partai politik. Partai politik pengusul harus sebesar apa, tidak ada ketentuannya di konstitusi," jelas Saiful.
Menurut Saiful, kata-kata "diusulkan oleh partai politik" diterjemahkan oleh partai-partai politik di DPR menjadi harus 20 persen, sebelumnya pernah lebih kecil, 15 persen pada pilpres 2004.
Akibat tingginya presidential threshold 20 persen maka peluang untuk mendapatkan calon-calon yang lebih fresh atau yang lebih diharapkan menjadi terbatas.
BACA JUGA:
Didikte parlemen
Dia mengatakan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), calon independen dibolehkan karena konstitusi menyatakan bahwa gubernur, wali kota, dan bupati dipilih secara demokratis. Tidak ada kata-kata diajukan oleh partai.
Sementara untuk presiden, konstitusi menyebut secara spesifik harus diajukan oleh partai politik.
Fakta bahwa pilkada membolehkan calon independen, pada pilpres harusnya lebih boleh lagi.
Menurut Saiful, hierarki atau tingkat pentingnya mestinya pada pemilihan presiden lebih tinggi dibanding pada pemilihan kepala daerah.
Mestinya, inklusivitas pemilihan presiden lebih kuat dibanding pilkada hingga punya legitimasi demokratik lebih kuat. Kenyataannya tidak. Di situ ada persoalan dalam konstitusi kita.
"Okelah sebagai sebuah kompromi, calon presiden diajukan oleh partai politik, tapi jangan dengan ambang batas 20 persen, dong," tegas Saiful.
Menurut dia, karena tidak ada aturan yang eksplisit di konstitusi tentang keharusan threshold, calon presiden cukup diajukan oleh partai politik, yakni partai mana pun yang diakui oleh negara, yang terdaftar di Kemenkum HAM.
Bahkan partai-partai yang tidak lolos ke Senayan pun seharusnya punya hak untuk mencalonkan seseorang jadi presiden seperti di negara-negara lain yang menganut sistem presidensial yang normal.
Dia pun menyayangkan Indonesia yang menganut sistem presidensialisme tapi didikte oleh parlemen atau partai politik.
"Dalam sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia atau Amerika Serikat, eksistensi presiden itu independen dari parlemen sejak ia menjadi calon. Tidak boleh tunduk pada parlemen. Presiden seperti parlemen secara langsung bertumpu pada rakyat, dipilih langsung oleh rakyat, mendapat mandat langsung dari rakyat," tegas Saiful Mujani.