JAKARTA - Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memprediksi bakal ada tiga poros koalisi yang bertarung di Pilpres 2024.
Pendiri SMRC Saiful Mujani mengungkapkan, poros koalisi pertama akan dipimpin oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal itu merujuk pada hasil Pemilu 2019, di mana PDIP menjadi partai peraih suara terbanyak.
"Poros pertama, PDIP sebagai lead-nya, dia bisa mengambil siapa saja. Mungkin saja PPP biar suasana Islamnya bisa masuk, atau PAN begitu," ujar Saiful yang dikutip dari channel YouTube SMRC, Sabtu, 23 April.
Sementara poros kedua, SMRC memprediksi akan dipimpin oleh Partai Gerindra. Kemungkinan, kata Saiful, Gerindra akan menggandeng PKB.
Pasalnya, suara Gerindra tak cukup untuk memenuhi ambang batas pencapresan atau Presidential Threshold sehingga membutuhkan satu partai lagi untuk memenuhi itu.
"Gerindra itu, dia butuh 1 partai lagi dan PKB cukup. Misalnya Prabowo dengan Cak Imin (Ketua Umum PKB) mungkin saja," katanya.
Sedangkan poros koalisi ketiga, diprediksi akan dipimpin oleh Partai Golkar. Saiful menilai Partai Golkar bisa berkoalisi dengan NasDem, PKS maupun Partai Demokrat.
"Golkar ini sebagai partai besar. Dia bisa terbuka untuk NasDem, Partai Demokrat dan PKS," jelas Saiful.
Jika ketiga poros itu terbentuk, lantas bagaimana wacana poros Islam?
Ketua DPP PPP Achmad Baidowi menilai pembentukan koalisi poros partai Islam untuk Pilpres 2024 mendatang akan sulit. Pasalnya, perlu upaya besar untuk memenangkan satu identitas di Indonesia.
“Situasi politik di partai Islam di Indonesia sendiri, sangat sulit untuk bisa, apa istilahnya kalau sekarang itu ada bahasa tadi, sebuah gagasan yang fobia," ujar Baidowi, Selasa, 19 April.
BACA JUGA:
Pria yang akrab disapa Awiek itu menjelaskan, apabila melihat demografi Indonesia dan kategorisasi pemilih Indonesia yang mayoritas muslim, koalisi poros Islam ini sangat mungkin terjadi. Hanya saja, kata dia, membutuhkan usaha yang luar biasa untuk bisa menang.
“Pertanyaan kemudian kita mau gagah-gagahan menggagas koalisi tapi ternyata kalah atau kita ingin menang? Itu saja sebenarnya yang dihadapi oleh parpol,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR ini.
Sekretaris Fraksi PPP itu menuturkan, suara Partai Ka'bah sendiri terus mengalami penyusutan-penyusutan dalam beberapa kali pemilu.
Setelah 5 kali pemilu di Orde Baru dan 5 kali pemilu di era Reformasi, tambah Awiek, terjadi penurunan suara signifikan di 2019, dan perolehan maksimal PPP pada tahun 1982 yakni 27,78 persen. Di sini menyatu seluruh kekuatan umat Islam, sampai akhirnya suara NU di PPP terpecah setelah adanya Muktamar NU di Situbondo.
“Muktamar NU di Situbondo, NU kembali ke khittah, artinya NU bukan hanya di PPP tapi berdiaspora ke partai-partai lain, akibatnya seluruh penurunan suara PPP dari 27,78 persen menjadi 15,96 persen. Selalu ada momentum yang mengiringi naik turunnya suara parpol,” demikian Awiek.