JAKARTA – Residu persaingan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 diperkirakan masih berlanjut dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang akan digelar November 2024 mendatang.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno menjelaskan, residu pilpres yang berlanjut dalam Pilkada 2024 terutama adalah persaingan antara Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo-Gibran berhadapan dengan PDI Perjuangan yang mengusung Ganjar-Mahfud.
Bahkan dalam perkembangannya, KIM berupaya membujuk PKS, Partai NasDem dan PKB masuk ke dalam gerbong koalisi yang disebut KIM Plus. Bila KIM Plus ini terwujud dalam Pilkada 2024, maka akan tercipta kekuatan politik mayoritas dan berpotensi terjadi skenario kotak kosong.
“Di banyak daerah, saya melihat sudah ada fenomena seperti itu (wacana pembentukan politik mayoritas). Kalau itu terjadi, bukan tidak mungkin calon yang mereka usung akan bertanding melawan kotak kosong. Kecuali, bila ada partai politik misalnya PDIP yang bisa mengusung calon sendiri,” ujar Adi, Senin 12 Agustus 2024.
Salah satu daerah yang berpotensi tercipta skenario kotak kosong adalah Pilgub Jawa Barat. Sebab, Partai Golkar yang sedari awal ngotot mengajukan nama Ridwan Kamil sebagai calon gubernur, tiba-tiba berbalik arah dan mendukung pencalonan Dedi Mulyadi atau Demul yang diusung Gerindra.
BACA JUGA:
Awal Bulan Agustus, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto menegaskan bahwa partainya mendukung Demul sebagai bakal calon gubernur Pilkada Jawa Barat 2024. “Kita sudah perkembangan tadi pertemuan di Jawa Barat antara Partai Golkar, DPD Partai Golkar, dan juga DPD Gerindra. Kemudian ada juga pertemuan antara calon gubernur Jawa Barat, saudara Dedi Mulyadi, dengan pengurus Golkar juga antara lain Wakil Ketua (DPRD Jabar) Pak Ade Ginanjar, jadi pembicaraan sudah sampai sana,” ungkapnya.
Keputusan Golkar mendukung Demul tentu menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, hasil beberapa lembaga survei menunjukkan jika elektabilitas RK jauh di atas Demul. Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 15-20 Juni 2024 dengan melibatkan 500 responden, elektabilitas RK berada di angka 36,6 persen, sementara Demul hanya 12,2 persen.
Survei SMRC pada 9 Juni-1 Juli 2024 dengan 11.070 responden, elektabilitas RK mencapai 60,8 persen dibanding Demul di angka 34,5 persen jika keduanya disimulasikan head to head. Simulasi head to head yang dilakukan Indikator Politik Indonesia juga membuktikan kedigdayaan RK atas Demul, dengan 55,1 persen berbanding 38 persen.
Adi Prayitno mengaku terkejut saat Golkar memutuskan mendukung Demul dan rela menggeser RK ke Pilkada Jakarta 2024. Meski demikian, dia menilai bahwa keputusan tersebut tentu berdasarkan semacam kesepakatan politik terutama antara Golkar dan Gerindra di dalam tubuh KIM.
“Inilah realitas KIM, ketika partai-partai KIM itu mengatakan ingin solid dan komit semua keinginan partai tentu dikompromikan dengan partai-partai koalisi yang lain. Saya melihat ini semacam kesepakatan politik, titik temu politik khususnya antara Gerindra dan Golkar,” terangnya.
Lantas bagaimana dengan Partai NasDem, PKS dan PKB? Dari ketiga parpol tersebut, hingga kini baru NasDem yang mendeklarasikan nama Ilham Habibie sebagai calon gubernur di Pilkada Jabar 2024. Sedangkan PKB dan PKS belum. Tapi berkaca dari apa yang terjadi di Pilkada Jakarta, dimana pada awalnya ketiga parpol itu mendukung Anies dan belakangan mulai berubah pikiran, tentu hal yang sama bisa terjadi di Pilkada Jabar 2024.
Apalagi, sebelumnya Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, KIM akan bekerja sama dengan parpol lain dalam pilgub di sejumlah provinsi, seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. “Ada Jawa Tengah, Jakarta dan Jawa Barat,” ungkapnya usai menghadiri Mukernas Partai Perindo, Rabu 31 Juli 2024 lalu.
Poros Koalisi Santri Plus Bisa Menjegal KIM di Pilkada Jabar
Potensi terciptanya skenario Demul melawan kotak kosong di Pilkada Jabar 2024 diakui Direktur Eksekutif Trias politika Institute, Agung Baskoro. Menurutnya, KIM merupakan poros terkuat saat ini di dunia politik Indonesia. Karena itu, satu-satunya cara melawan KIM yaitu dengan membuat poros baru. Salah satunya poros Koalisi Santri Plus yang bisa diisi oleh PKS, PKB, PPP dan PDIP.
Meski begitu, poros Koalisi Santri Plus bisa terlaksana andai para elit partai di luar KIM bisa menemukan kata sepakat demi kemenangan di Pilgub Jabar. “Islam PKS ini kan Islam perkotaan, PKS butuh untuk memperluas ceruk pemilihnya Islam perdesaan, itu biasanya representasi oleh PPP dan PKB. Apalagi kalau sama PDIP tuh, ngeri itu barang. Jadi potensi punya poros baru besar, kalau saya melihat untuk Jabar,” imbuhnya.
Dia mengatakan, sebagai pemenang kedua Pileg 2024 di Jawa Barat, PKS bisa menjadi motor penggerak terbentuknya poros Koalisi Santri Plus. Jika hal itu dapat terealisasi, poros baru ini diyakini dapat menjadi batu sandungan bagi Demul dan KIM di Pilgub Jabar 2024. “PKS punya posisi tawar, punya kursi yang besar setelah Gerindra. PKS punya tanggung jawab moril untuk menghadirkan menu baru, menu prasmanan demokrasi di Jawa Barat, agar lebih baik dari Jakarta. Karena PKS punya basis besar disini gitu, sayang kalau PKS tidak berpartisipasi,” beber Agung.
Terkait tokoh politik, jika poros tersebut terbentuk, bukanlah hal sulit bagi PKS, PKB, PPP, dan PDIP mencari figur untuk dicalonkan dalam Pilgub Jabar. Sebab, keempat partai tersebut memiliki sejumlah tokoh politik yang mempunyai elektabilitas yang cukup baik. PKS memiliki Haru Suandharu, PKB memiliki Acep Adang Ruhiyat, PPP memiliki Uu Ruzhanul Ulum dan Sandiaga Uno, dan PDIP memiliki Ono Surono serta Susi Pudjiastuti sebagai calon alternatif.
Ketua DPW PKS Jabar, Heru Suandharu mengaku sudah melakukan komunikasi politik dengan berbagai partai. Dia juga tidak menampik jika semua kemungkinan bisa terjadi termasuk koalisi partai Islam. “Kalau komunikasi politik dengan beberapa parpol terus berjalan dan konstruktif. Saya kira kami masih terus berkomunikasi dan menjajaki semua kemungkinan,” tuturnya.
Direktur Eksekutif PPI, Adi Prayitno menilai bahwa skenario pasangan calon tunggal melawan kotak kosong pada Pilkada 2024 merupakan ironi bagi demokrasi Indonesia. Dia lantas mempertanyakan sikap parpol atas skenario kotak kosong pada pilkada kali ini. Sebab, jika itu terjadi maka parpol seolah tak punya pilihan untuk mengajukan kadernya menjadi calon pemimpin.
Dia menegaskan bahwa esensi pilkada pada dasarnya pertaruhan politik antar orang dengan orang, bukan melawan kotak kosong. Karena itu, apabila muncul kotak kosong pada Pilkada 2024, tentu hal itu mempunyai dampak buruk terhadap demokrasi Indonesia.
“Percuma selama ini parpol menggembar-gemborkan sebagai pihak yang melakukan kaderisasi jika pada akhirnya tidak mau mengusung kader sendiri. Kalau skenario kotak kosong ini benar-benar terjadi di Pilkada 2024, maka yang diuntungkan adalah para elite-elite parpol. Sedangkan rakyat rugi karena tidak diberikan pilihan untuk menentukan pemimpin yang dianggap pantas berdasarkan kapabilitas atau kemampuannya,” tutup Adi.