Joko Tjandra Didakwa Palsukan Surat Jalan untuk Masuk ke Indonesia
Terdakwa dalam kasus Bank Bali, Djoko S. Tjandra bersiap meninggalkan ruang sidang Pengadilan negeri Jakarta Selatan, Senin 28 Februari 2000. (Irham/Antara))

Bagikan:

JAKARTA - Terpidana kasus "cessie" Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, didakwa memalsukan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan COVID-19 dan surat rekomendasi kesehatan untuk dapat masuk ke Indonesia.

"Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra bersama-sama Anita Dewi Kolopaking dan Brigjen Prasetyo Utomo membuat surat palsu atau memalsukan surat," kata jaksa saat membacakan dakwaan Joko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dilansir Antara,  Selasa, 13 Oktober.

Joko Tjandra selaku terpidana berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung 11 Juni 2009 dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun, namun Joko Tjandra melarikan diri sehingga sejak 17 Juni 2009 ditetapkan status buron dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Direktorat Jenderal Imigrasi dan daftar Interpol Red Notice.

Joko Tjandra lalu berkenalan dengan Anita Dewi Kolopaking pada November 2019 di Kuala Lumpur. Pada pertemuan itu Anita bersedia menjadi kuasa hukum Joko Tjandra untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan PK tersebut.

Namun pendaftaran PK Anita ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena MA mengharuskan pemohon hadir sendiri untuk mendaftarkan permohonannya.

Joko Tjandra pun meminta Anita untuk mengatur kedatangannya ke Jakarta, yaitu melalui Bandara Supadio Pontianak. Anita lalu menghubungi Tommy Sumardi yang juga dipercaya Joko untuk mengurus kedatangannya.

Tommy juga sudah mengenal mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo. Tommy, Anita dan Prasetyo lalu bertemu pada 29 April 2020 di kantor Prasetyo untuk membicarakan persoalan hukum Joko Tjandra.

"Hal itu membuat keyakinan bahwa terdakwa Joko Soegiarto Tjandra akan difasilitasi dalam menghadapi permasalahan baik urusan sewa-menyewa gedung Mulia dengan OJK maupun perlawanan hukum atas PK yang menjadikannya terpidana," tambah jaksa.

Anita lalu meminta Prasetyo agar ada anggota polisi di Pontianak yang dapat menemani Joko Tjandra mencari rumah sakit untuk mendapat surat rapid test bebas COVID-19 dan surat keterangan kesehatan.

"Saksi Brigjen Pol Prasetyo Utomo mengatakan 'udah kita aja yang keluarin untuk surat jalan dan rapid test bapak', yang dimaksud 'bapak' adalah terdakwa Joko Soegiarto Tjandra," ungkap jaksa.

Prasetyo lalu meminta KTP Joko Tjandra. Prasetyo lalu meminta Kaur TU Ro Korwas PPNS Bareskrim Polri Dodi Jaya untuk membuat surat jalan ke Pontianak untuk keperluan bisnis tambang namun dalam surat jalan itu Prasetyo memerintahkan agar mencantumkan keperluan diganti menjadi monitoring pandemi di Pontianak dan wilayah sekitarnya.

Prasetyo juga memerintahkan Dodi untuk merevisi surat jalan dengan mencoret kop surat "Markas Besar Kepolisian RI Bareskrim" menjadi "Bareskrim Polri Biro Korwas PPNS" dan pejabat yang menandatangani sebelumnya "Kepala Bareskrim Polri" Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo dicoret dan diganti nama "Brigjen Pol Prasetyo Utomo" dan pada bagian tembusan dicoret.

Surat itu dikeluarkan dengan tanggal 3 Juni 2020. Prasetyo juga membuat surat jalan dengan format serupa untuk identitas Anita Dewi Kolopaking.

Prasetyo selanjutnya memerintahkan Sri Rejeki Ivana Yuliawati untuk membuat surat keterangan pemeriksaan COVID-19 yang ditandatangani dr Hambek Tanuhita untuk Prasetyo Utomo (anggota Polri), Jhony Andrijanto (anggota Polri), Anita Dewi A Kolopaking (konsultan) dan Joko Soegiarto (Konsultan) dengan seluruhnya beralamat di Jalan Trunojoko No 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Surat-surat itu diserahkan Prasetyo ke Anita pada 4 Juni 2020 yang selanjutnya dikirimkan Anita melalui WhatsApp ke Joko Tjandra.

Namun saat mengurus ke PT Transwisata Prima Aviation yang pesawatnya disewa Joko Tjandra, ternyata ada keterangan yang kurang, yaitu tinggi badan, berat badan, tekanan darah dan golongan darah sehingga Anita kembali menemui Prasetyo pada 5 Juni 2020 maka dibuatkan surat rekomendasi kesehatan baru yang masih ditandatangani dr Hambek Tanuhita untuk empat orang tersebut.

Anita, Prasetyo Utomo dan Jhony Andrijanto lalu berangkat ke bandara Supadio Pontianak menggunakan pesawat King Air 350i milik PT Transwisata Prima Aviation untuk menjemput Joko Tjandra pada 6 Juni 2020.

Keempatnya lalu langsung kembali ke Jakarta dan pergi ke Hotel Mulia dan selanjutnya Joko Tjandra kembali ke rumahnya di Simpruk, Jakarta Selatan.

Pada 8 Juni 2020, Anita lalu menjemput Joko Tjandra untuk pergi ke kantor kelurahan Grogol Selatan untuk merekam KTP-el atas nama Joko Tjandra dan selanjutnya berangkat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK.

Masih pada hari yang sama, Anita, Prasetyo dan Jhony mengantarkan Joko Tjandra kembali ke Pontianak menggunakan pesawat sewaan yang sama, setelah itu Anita, Prasetyo dan Jhony langsung kembali ke Jakarta.

Pada 16 Juni 2020, Joko menghubungi Anita dan menyampaikan akan datang ke Jakarta untuk membuat paspor sehingga Anita pun kembali meminta Prasetyo untuk mengurus dokumen yang diperlukan yaitu, surat jalan, surat rekomendasi kesehatan, dan surat pemeriksaan COVID-19.

Pada 20 Juni 2020, Joko Tjandra berangkat dari Pontianak menuju Jakarta menggunakan pesawat Lion Air dan proses check in dibantu anggota Polri Jumardi.

Selanjutnya pada 22 Juni 2020, Anita menyerahkan seluruh dokumen asli untuk pembuatan paspor dan setelah paspor selesai, Joko pulang ke Malaysia melalui Pontianak.

"Bahwa penggunaan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan COVID-19 dan surat rekomendasi kesehatan yang tidak benar tersebut merugikan Polri secara immateriil karena meniderai dan mencorong nama baik Polri secara umum dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri serta Pusdokkes Polri pada khususnya mengingat terdakwa Joko Soegiarto Tjandra adalah terpidana korupsi dan menjadi buronan sejak 2009," ungkap jaksa.

 

Perbuatan Joko Tjandra pun diancam pidana pasal 263 ayat (1) atau pasal 263 ayat (2) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal itu berbunyi "Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun."

Terkait perkara ini, mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetyo Utomo dan Anita Dewi Kolopaking juga menjalani sidang pembacaan dakwaan secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.