Bagikan:

JAKARTA - Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Tri Yunis Miko Wahyono menilai, tidak tepat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerapkan masa PSBB transisi yang dimulai pada hari ini.

Miko menganggap, Anies terlalu terburu-buru kembali menerapkan PSBB transisi. Sebab, ada kekhawatiran penularan COVID-19 akan naik akibat penyelenggaraan aksi unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja pada Kamis, 8 Oktober.

"Pak Gubernur terlalu terburu-buru melakukan PSBB transisi. Sebab, ada multiplayer effect saat PSBB transisi diterapkan setelah aksi demo beberapa hari lalu," kata Miko saat dihubungi VOI, Senin, 12 Oktober

Miko memperkirakan, pertambahan jumlah kasus harian COVID-19 bisa menjadi 2 kali lipat akibat pelonggaran pembatasan yang dilakukan setelah aksi unjuk rasa.

"Kalau sekarang rata-rata pertambahan kasus di DKI 900, dengan adanya demo ditambah penerapan PSBB transisi, bisa jadi akan dua kali lipatnya, jadi bisa sekitar 1.800 kasus per hari. Karena, bisa-bisa reproduction number jadi di angka 2," jelas dia.

Demo menentang UU Cipta Kerja di Jakarta, 8 Oktober (Irfan Meidianto) 

Miko menyebut, penambahan jumlah rumah sakit rujukan COVID-19 dan penurunan angka kematian yang saat ini menjadi 2,2 persen tidak menjamin penanganan COVID-19 akan terkendali selama masa PSBB transisi.

"Sekarang mungkin keterisian tempat tidur masih 65 persen. Tapi, begitu pertambahan kasus dua kali lipat akibat multiplayer effect tadi, akan cepat sekali penuhnya," ungkap dia.

Oleh sebab itu, Miko menyarankan agar Anies juga menerapkan pembatasan sosial berskala lokal (PSBL) ketika pemberlakuan PSBB transisi jilid II yang berlangsung hingga 25 Oktober.

"Harusnya pembatasan sosial berskala lokal juga dipertahankan di sejumlah wilayah saat masa transisi ini, tingkat RW atau kelurahan gitu. kalaupun tidak dilakukan psbb provinsi, ya lokal dilakukan pembatasan," jelasnya.

Sebagai informasi, PSBB transisi kembali menjadi pilihan berdasarkan hasil penerapan PSBB jilid dua, yaitu tampak adanya pelambatan kenaikan kasus positif dan kasus aktif meski masih terjadi peningkatan penularan.

Lebih lanjut, Anies menyampaikan, keputusan ini didasarkan pada beberapa indikator, yaitu laporan kasus harian, kasus kematian harian, tren kasus aktif, dan tingkat keterisian Rumah Sakit Rujukan COVID-19.

"Kami perlu tegaskan bahwa kedisiplinan harus tetap tinggi sehingga mata rantai penularan tetap terkendali dan kita tidak harus melakukan emergency brake kembali," ucapnya.

Demo menentang UU Cipta Kerja di Jakarta, 8 Oktober (Irfan Meidianto) 

Terdapat tanda awal penurunan kasus positif harian dalam 7 hari terakhir. Pelandaian pertambahan kasus harian sejak pengetatan PSBB tampak pada grafik kasus onset dan juga pada nilai Rt atau reproduksi virusnya.

Berdasarkan data yang disusun FKM UI, nilai Rt Jakarta adalah 1,14 pada awal September dan saat ini berkurang menjadi 1,07. Artinya, saat ini 100 orang berpotensi menularkan virus kepada 107 orang lainnya. 

Pada periode 26 September sampai 9 Oktober 2020, kembali terjadi penurunan dari kondisi 14 hari sebelumnya, di mana jumlah kasus positif meningkat 22 persen atau sebanyak 15.437 kasus, dibanding sebelumnya meningkat 31 persen atau sebanyak 16.606 kasus.

Sedangkan, kasus aktif meningkat hanya 3,81 persen atau sebanyak 492 kasus, dibanding sebelumnya meningkat 9,08 persen atau 1.074 kasus. Sejak akhir September hingga awal Oktober jumlah kasus aktif harian mulai konsisten mendatar, menunjukkan adanya perlambatan penularan.

Anies mengatakan, tingkat kematian atau CFR Jakarta juga terus menurun hingga ke angka 2,2 persen saat ini. Laju kematian juga menurun, prediksi tanpa PSBB ketat, kematian harian kasus positif di Jakarta saat ini mencapai 28 per hari, saat ini lajunya 18 per hari.