Bagikan:

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan sanksi yang diberikan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Pertanyaan ini muncul setelah Dewas KPK hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis dua, karena menggunakan helikopter saat berkunjung ke makam orang tuanya.

"Tindakan Firli Bahuri yang menggunakan moda transportasi mewah itu semestinya telah memasuki unsur untuk dapat diberikan sanksi berat berupa rekomendasi agar mengundurkan diri sebagai Pimpinan KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Jumat, 25 September.

Terkait putusan tersebut, ICW mencatat ada lima hal yang mereka soroti. Pertama alasan Dewas KPK menyebut Firli tak meyadari pelanggaran yang dilakukan adalah tidak masuk akal padahal sebagai Ketua KPK, yang seharusnya paham dan mampu mengimplementasikan Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, tindakan itu juga berseberangan dengan nilai integritas yang kerap dikampanyekan KPK, salah satunya tentang hidup sederhana.

Kedua, Dewan Pengawas tak menimbang sama sekali pelanggaran etik yang pernah dilakukan saat Firli menjabat sebagai Deputi Penindakan. Padahal di tahun 2018, ICW pernah melaporkan Firli ke Deputi Pengawas Internal dan pengaduan Masyarakat atas dugaan melakukan pertemuan dengan pihak yang berperkara di KPK.

Hasilnya, kata Kurnia, pada September 2019 Firli dinyatakan terbukti melanggar kode etik dan dijatuhkan sanksi pelanggaran berat. 

"Sementara dalam putusan terbaru, Dewan Pengawas KPK menyebutkan bahwa Firli tidak pernah dihukum akibat pelanggaran kode etik," tegasnya.

Diketahui, September 2019, Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang menyebut Firli yang menjabat sebagai Deputi Penindakan melakukan dugaan pelanggaran berat menurut Direktorat Pengawasan Internal KPK. Ada sejumlah temuan pelanggaran etik yang dilakukan Firli saat itu, termasuk bertemu dengan pihak-pihak berperkara di lembaga antirasuah tersebut salah satunya adalah melakukan pertemuan dengan pimpinan partai politik di sebuah hotel di Jakarta dan tak meminta izin pada pimpinan.

Kembali ke Kurnia, Dewan Pengawas KPK dinilainya telah abai dalam melihat tindakan Firli menggunakan helikopter adalah rangkaian tindakan kontroversi yang sempat dilakukannya. Selanjutnya, putusan tersebut juga dianggap sulit untuk mengangkat reputasi lembaga antirasuah yang sedang terpuruk itu.

"Sanksi ringan itu bukan tidak mungkin akan menjadi preseden bagi pegawai atau Pimpinan KPK lainnya untuk melakukan pelanggaran serupa," ungkap dia.

Terakhir, Dewas KPK dianggap lemah dalam mengawasi etika pimpinan dan pegawai KPK. Harusnya, kata Kurnia, mereka bisa mendalami lebih jauh kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi dalam penggunaan helikopter tersebut.

"Dewas tidak menyebutkan dengan terang apakah Firli  membayar jasa helikopter itu dari uang sendiri atau sebagai bagian dari gratifikasi yang diterimanya sebagai pejabat negara. Dewas berhenti pada pembuktian menaiki helikopter merupakan bagian dari pelanggaran etika hidup sederhana," kata dia.

Dari lima poin tersebut, Kurnia menyebutkan sanksi ringan itu sangat mengecewakan. "ICW menilai pelanggaran kode etik yang terbukti dilakukan Firli sudah lebih dari cukup untuk dirinya mengundurkan diri," ujarnya.

Sebelumnya, anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan sanksi ringan diberikan kepada Firli Bahuri karena pelanggaran etik yang dilakukannya itu tidak berdampak kepada lembaga maupun pemerintah.

"Kalau dampaknya hanya di lingkungannya saja itu hukumannya ringan. Kemudian kalau dampaknya ke institusi atau lembaga itu dampaknya sedang, kemudian kalau dampaknya itu kepada pemerintah atau negara itu tentu saja akan dijatuhkan berat," kata Albertina di Gedung ACLC, Jakarta, Kamis, 24 September.

Dalam putusan sidang etik, Tumpak Hatorangan, cs itu menilai Firli bersalah atas tindakannya menggunakan helikopter. Dewan Pengawas KPK menyebut hal yang memberatkan Firli adalah dia tak menyadari pelanggaran yang dilakukannya. Selain itu, dia bertindak sebaliknya tidak memberikan teladan sebagai Ketua KPK.

Sementara hal yang meringankan adalah sebagai terperiksa, Firli belum pernah dihukum akibat kode etik dan pedoman perilaku. Selain itu dia dinilai bersikap kooperatif.