MATARAM - Penyidik Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat menuntaskan kasus pemalsuan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) penggabungan tanah seluas 6,37 hektare di kawasan wisata Gili Sudah, Kabupaten Lombok Barat.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Komisaris Besar Polisi Hari Brata, Senin, membenarkan perihal penyelesaian kasus tersebut dengan telah terlaksananya penyerahan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum (JPU).
"Iya betul, tahap dua, pelimpahan tersangka dan barang bukti ke JPU sudah kami laksanakan," kata Hari di Mataram, Senin 21 Maret.
Tersangka berinisial MM, kata dia, merupakan anak dari makelar yang mendapat amanah dari ahli waris untuk menyelesaikan kelengkapan transaksi jual beli tanah tersebut.
Namun dalam menjalankan perannya, MM diduga membuat dokumen dan keterangan palsu atas penggabungan SPPT tanah seluas 6,37 hektare dengan tujuan untuk menguasai dan memiliki tanah tersebut.
BACA JUGA:
Tersangka melakukan hal itu tanpa sepengetahuan dan persetujuan korban yang merupakan pemilik lahan yang sebelumnya sudah berstatus hak milik orang lain.
Karena itu sebagai tersangka, MM dikenakan pidana Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP tentang Pemalsuan Dokumen Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan ke-2 KUHP.
Dalam kasus ini sebenarnya MM menjadi tersangka bersama oknum aparatur sipil negara (ASN) di Lombok Barat berinisial LS. Namun kepolisian telah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) karena LS meninggal dunia.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Mataram Heru Sandika Triyana mengatakan bahwa pihaknya sudah menerima pelimpahan kasus ini dari penyidik Polda NTB.
"Sudah kita terima tahap dua. Jadi sekarang tinggal menunggu proses pelimpahan surat dakwaan untuk diserahkan ke pengadilan," ujar Heru dikutip Antara.
Namun tindak lanjut pelimpahan ini Kejaksaan tidak melakukan penahanan terhadap tersangka MM.
Perihal persoalan ini menjadi bahan sorotan pengacara korban, yakni Erda Susantyadji Ratmara. Dia menyayangkan keputusan Kejaksaan itu dan mempertanyakan alasan tidak dilakukannya penahanan.
"Kalau dibilang kooperatif, tersangka ini kami lihat tidak demikian," kata Erda.
Dia mengatakan hal tersebut berkaca dari perilaku tersangka ketika diminta penyidik kepolisian untuk hadir dalam agenda pelimpahan tahap dua ke jaksa.
"Itu makanya kenapa penyidik menjemput paksa. Jadi seharusnya Kejaksaan melakukan penahanan. Apa tidak khawatir jika tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulang perbuatannya lagi," ujarnya.
Dia berharap agar kasus ini mendapat atensi para petinggi penegak hukum di NTB perihal proses penanganan.
"Seperti telah disampaikan Presiden bahwa pemerintah berkomitmen penuh memberantas mafia-mafia tanah. Bahkan Presiden sudah menyampaikan jangan sampai ada aparat hukum yang mem-'backup' mafia tanah, memperjuangkan hak masyarakat, dan menegakkan hukum secara tegas," ucap dia.