MATARAM - Penyidik kejaksaan memeriksa saksi dalam kasus dugaan korupsi aset milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berupa lahan seluas 65 hektare yang berada di kawasan wisata Gili Trawangan, di Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Juru Bicara Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB Efrien Saputra membenarkan adanya pemeriksaan saksi kasus korupsi aset tersebut di Polsek Pemenang.
"Iya, hari ini pemeriksaan saksi sudah berlangsung di Polsek Pemenang," ucap Efrien saat dikonfirmasi di Mataram, Antara, Selasa, 25 Oktober.
Terkait dengan jumlah saksi yang diperiksa, dia mengaku belum mendapatkan informasi lengkap dari penyidik. Begitu juga dengan materi pemeriksaan. "Apa saja materi dan siapa saja yang diperiksa, saya belum dapat informasi," ujarnya.
Sementara, Kapolsek Pemenang Iptu Lalu Eka Arya yang dikonfirmasi membenarkan perihal adanya peminjaman ruangan dari pihak kejaksaan untuk proses pemeriksaan.
"Iya, memang ada pemeriksaan hari ini dari jaksa. Jaksa pinjam ruangan kami," kata Eka.
Pemeriksaan saksi ini sebelumnya terungkap sesuai adanya surat panggilan saksi bernama Marwi yang diterbitkan Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dengan Nomor: SP-1116/N.2.5/Fd.1/10/2022, tanggal 21 Oktober 2022.
Dalam surat yang ditandatangani Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati, meminta Marwi hadir menghadap tim penyidik Ema Mulyawati pada hari Selasa (25/10).
Lokasi pemeriksaan Marwi sebagai saksi tertulis di Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Pihak kejaksaan dalam surat tersebut turut menjelaskan perihal dasar pemanggilan MW sebagai saksi, yakni sesuai dengan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Kepala Kejati NTB Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022, tanggal 9 Februari 2022.
Terkait dengan pemeriksaan tersebut, Marwi yang dikonfirmasi melalui sambungan telepon membenarkan dirinya menjalani pemeriksaan jaksa di Kantor Polsek Pemenang. "Iya, betul, saya diperiksa tadi," kata Marwi.
Marwi mengaku pemeriksaan dirinya berkaitan dengan pengelolaan aset berupa lahan milik Pemprov NTB seluas 65 hektare di Gili Trawangan.
Marwi mengaku di atas lahan tersebut dia hanya mengelola tanah seluas 3 are (300 meter persegi). Marwi mengaku dirinya telah membangun toko dan tempat tinggal bersama keluarga.
"Jadi, tidak pernah saya sewakan ke orang, karena saya gunakan untuk diri sendiri, bangun toko dan tempat tinggal," ujarnya.
Perihal dasar pengelolaan lahan tersebut, Marwi mengaku tidak mengantongi alas hak kepemilikan. Melainkan, hanya memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). "Cuma SPPT, tidak ada sertifikat," ungkap Marwi.
Dia pun mengaku membayar pajak ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Lombok Utara. "Setoran pajak saya setorkan langsung ke kantor (Bapenda) yang ada di Tanjung itu," ujar dia.
Terkait nominal setoran pajak, Marwi mengaku lupa berapa jumlahnya. Namun, dia meyakinkan ada bukti SPPT setoran dari pengelolaan pajak tersebut.
Marwi pun menjelaskan dirinya menduduki lahan tersebut sejak kecil. Dia mengaku tidak mengetahui siapa pemilik dari lahan yang kini dia kelola tersebut.
"Karena lahan itu seperti hutan dahulunya. Tidak ada yang kelola, makanya saya tempati saja," kata Marwi.
Penanganan kasus yang berasal dari laporan masyarakat ini mengarah pada dugaan pungutan liar (pungli) perihal pemanfaatan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemprov NTB yang menjadi kesepakatan dalam kontrak produksi dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI).
Persoalan itu diduga muncul sejak tahun 1998, ketika PT GTI mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB untuk mengelola lahan.
Dalam periode tersebut, muncul dugaan sejumlah pihak yang mengambil keuntungan pribadi. Dugaan itu berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal.
Untuk kondisi terkini di areal seluas 65 hektare kawasan Gili Trawangan, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat penunjang pariwisata.
BACA JUGA:
Pemetaan situasi di atas lahan itu pun telah dilakukan pihak kejaksaan. Hal itu didapatkan ketika Kejati NTB menjalankan tugas sebagai jaksa pengacara negara (JPN) untuk menyelamatkan dan menertibkan aset di kawasan wisata tersebut.
Upaya penyelamatan aset ini pun sebelumnya diharapkan dapat mendongkrak pendapatan asli daerah dengan prediksi mampu memberikan keuntungan hingga triliunan rupiah.