JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan di Masa Pandemi meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) di sekolah. Langkah ini penting karena jumlah capaian vaksin terhadap anak-anak masih rendah.
Relawan Lapor COVID-19, Yemiko Happy mengatakan cakupan vaksin COVID-19 untuk anak umur 6-11 tahun masih rendah. Masih ada 13,5 juta anak yang belum mendapatkan vaksin sebanyak dua dosis atau dosis lengkap.
"Hingga 11 Maret 2022, terdapat sedikitnya 13,5 juta anak-anak yang masih belum mendapatkan vaksin dosis lengkap," kata Yemiko dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Sabtu, 19 Maret.
Dengan kondisi ini, Yemiko menilai, tingkat kerentanan keparahan dan kematian juga akan meningkat.
Tak hanya itu, anak juga berpotensi mengalami komplikasi berat yakni multisystem inflammatory syndrome in children associated with COVID-19 (MIS-C) dan komplikasi long COVID-19 lainnya yang berdampak pada kinerja dan kesehatan organ tubuh.
Selain persoalan vaksinasi, Yemiko juga menyoroti sejumlah hal terkait persoalan PTM, di antaranya adalah minimnya penanganan COVID-19. Menurutnya, saat angka pertambahan kasus meningkat, banyak satuan pendidikan yang tak siap dan tak memiliki mekanisme penanganan bila terjadi penularan di lingkungan sekolah.
BACA JUGA:
Bahkan, ada kecenderungan pengabaian terhadap murid, guru, atau pengurus sekolah lainnya yang terpapar COVID-19. Sekolah, kata Yemiko, justru melanjutkan pembelajaran tatap muka tanpa ada penanganan lebih lanjut seperti pelacakan kontak erat dan pemeriksaan lanjutan.
"Banyak sekolah juga tidak melakukan testing pada warga sekolah yang dilakukan secara rutin untuk mendeteksi kasus secara dini," ujarnya.
Dia kemudian memerinci, sedikitnya 47.489 satuan pendidikan belum mampu mengakses fasilitas pelayanan kesehatan, seperti Puskesmas, klinik, rumah sakit, dan lainnya. Sementara, 2.626 satuan pendidikan dilaporkan belum memiliki tim satuan tugas penanganan COVID-19.
"Selain itu, melalui laporan yang masuk ke LaporCovid-19, kami mendapati pihak sekolah jarang membuka kasus Covid-19 yang terjadi wilayah satuan pendidikannya," tegasnya.
Masalah lanjutan yang dipaparkan Yemiko adalah perihal pelanggaran protokol kesehatan. Menurutnya, PTM dengan kapasitas siswa 100 persen akan menyulitkan penerapan protokol kesehatan.
Apalagi, berdasarkan laporan warga sejak 1 Januari 2022 hingga 12 Maret 2022 didominasi oleh pelanggaran protokol kesehatan di satuan pendidikan dengan 163 laporan.
"Pelanggaran yang dilaporkan pun cukup beragam mulai dari tidak dilakukannya pemeriksaan suhu, belum memadainya tempat cuci tangan, hingga penggunaan masker dan jaga jarak yang kurang maksimal," kata Yemiko.
"Minimnya kesadaran dan komitmen bersama serta ketiadaan pengawasan secara berkala menjadikan pelanggaran protokol kesehatan di lingkungan sekolah justru dilakukan secara terang-terangan dan dianggap lumrah," imbuh dia.
Dengan berbagai persoalan itu, koalisi ini kemudian mendesak Kemendikbudristek untuk melakukan evaluasi pelaksanaan PTM di sekolah.
"Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan di Masa Pandemi mendorong pemerintah agar Kemendikbudristek melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan pembelajaran tatap muka terutama kesiapan satuan pendidikan dalam penanganan COVID-19 bekerja sama dengan Dinas Pendidikan setempat," ungkapnya.
Tak hanya itu, Kemendikbudristek harus memastikan semua kebijakan PTM didasari data lapangan dan data ilmiah terbaru tentang dampak COVID-19 pada anak.
Sementara bagi pemerintah pusat maupun daerah didesak untuk melakukan monitoring serta pengawasan secara berkala dalam pelaksanaan PTM. "Ini termasuk mendesak sekolah untuk transparan terkait kasus COVID-19 yang ada di sekolahnya untuk kemudian dilakukan pelacakan, pemeriksaan dan penanganan pada kontak erat," ungkap Yemiko.
"Risiko penularan COVID-19 di sekolah harus dicegah dan diantisipasi dengan dasar-dasar pengendalian pandemi, seperti penerapan protokol kesehatan dan sarana pendukungnya, serta surveilans yang kuat. Upaya ini harus terus dievaluasi guna menghindari risiko yang bisa membahayakan anak-anak maupun masyarakat luas," pungkasnya.