JAKARTA - Ekonom meminta agar pemerintah tidak mendorong perbankan untuk menggenjot penyaluran kredit secara agresif di tengah pandemi COVID-19. Pasalnya, hal ini dapat meningkatkan risiko kredit macet.
Laju kredit memang terbilang rendah di level satu digit, yakni cuma 1,04 persen berdasarkan data Bank Indonesia. Namun bukan hal yang bijak mengharapkan ada pertumbuhan yang signifikan di tengah kondisi seperti saat ini.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menjelaskan, saat ini sektor dunia usaha belum beroperasi maksimal selama masih terjadi pandemi COVID-19 karena adanya pembatasan aktivitas sosial ekonomi. Untuk itu, mendorong pertumbuhan kredit tak disarankan.
"Bank jangan didorong untuk meningkatkan pertumbuhan kredit di tengah pandemi. Karena banyak perusahaan mengalami keterbatasan pada operasional, tidak bisa melakukan aktivitas usaha dengan normal," ujarnya dalam diskusi virtual, Selasa, 22 September.
Selain itu, kata Piter, permintaan konsumen juga masih terbatas di tengah pandemi COVID-19. Kondisi ini pun mempengaruhi sektor usaha untuk mengurangi produksinya. Sehingga akhirnya menahan permintaan kredit dunia usaha kepada perbankan.
BACA JUGA:
Piter menjelaskan, jika dipaksakan untuk menggenjot kredit di tengah pandemi COVID-19 saat ini, risiko kredit atau rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) berpotensi naik.
Sekadar informasi, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat NPL perbankan sebesar 3,22 persen pada Juli 2020. Posisi itu meningkat dari bulan sebelumnya yang hanya 3,11 persen.
"Mereka (sektor usaha) mengalami persoalan cash flow (arus kas). Kalau ini diguyur kredit, maka bank bisa mengalami peningkatan risiko kredit," tegasnya.
Lebih lanjut, Piter mengatakan, upaya OJK untuk memberikan restrukturisasi pada kredit bank sangat membantu di tengah pelemahan ekonomi akibat COVID-19. Tidak hanya kepada debitur, pelonggaran ini juga membantu mengelola risiko NPL di perbankan.