Bagikan:

JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta berencana untuk mengintegrasikan tarif perjalanan menggunakan transportasi umum, yakni Transjakarta, MRT Jakarta, dan LRT Jakarta dengan nominal Rp10 ribu.

Dalam paparannya saat rapat bersama Komisi B DPRD DKI Jakarta, Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo menyebut usulan tarif transportasi sekali bayar meski berpindah moda ini berdasarkan hasil rekomendasi Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

"Untuk tarif integrasi tiga moda di Jakarta yaitu TransJakarta, LRT dan MRT itu diusulkan sebesar Rp10 ribu. Sementara untuk masing-masing moda pada saat tarif bundling ini berlaku, itu tetap sama. Artinya, tak ada kenaikan tarif untuk semua moda jika naik satu moda saja," kata Syafrin, Rabu, 16 Maret.

Diketahui, tarif satu moda pada Transjakarta termasuk Mikrotrans sebesar Rp3.500 flat, MRT Jakarta sampai Rp14ribu, dan LRT Jakarta Rp5.000 flat. Total tarif tiga moda tersebut sebelum diintegrasikan mencapai Rp22.500.

Perhitungannya, jika penumpang menggunakan tiga moda sekali jalan dengan tarif integrasi, maka akan menghemat Rp12.500.

Kemudian, Syafrin menuturkan akan ada peningkatan jumlah masyarakat yang menggunakan modal transportasi, khususnya pada LRT Jakarta dan MRT Jakarta. Seiring dengan hal itu, penggunaan kendaraan pribadi otomatis berkurang.

"Akan terjadi lonjakan penumpang yang tinggi karena dengan adanya skema tarif integrasi akan mendorong masyarakat untuk menggunakan multimoda. Jumlah penumpang harian LRT dan MRT akan meningkat hingga sekitar 16 persen," tutur Syafrin.

Mencermati hal ini, DPRD mempertanyakan nilai manfaat bagi Pemprov DKI maupun masyarakat Jakarta jika tarif transportasi umum diintegrasikan. Mengingat, saat ini besaran tarif transportasi ketiga moda masih ditopang subsidi dari APBD DKI.

Berdasarkan perhitungan Pemprov DKI, tahun 2021 keuntungan Transjakarta, MRT, dan LRT atas pendapatan tiket sebesar Rp292 miliar. Seandainya tarif integrasi telah berlaku, pendapatan ketiga moda akan minus Rp4 miliar.

Ketika pendapatan pengelola transportasi berkurang, otomatis hal itu akan berpengaruh kepada beban subsidi atau public service obligation (PSO) yang diberikan Pemprov DKI.

Yang juga jadi masalah, kata Anggota Komisi B DPRD DKI Manuara Siahaan, apakah Pemprov DKI bisa memastikan bahwa penerima manfaat integrasi transportasi didominasi oleh warga Jakarta.

"Siapa penerima manfaat terbesar PSO ini? Data yang disajikan terlihat bahwa sebetulnya penerima manfaat terbesar adalah orang yang bermukim di luar DKI jakarta. Artinya, jika nanti PSO itu didanai oleh APBD, karena arus yang terbesar nanti dari Jabodetabek," ujar Manuara.

Sependapat, Anggota Komisi B Gilbert Simanjuntak mengaku khawatir jika penikmat moda transportasi yang diintegrasi ini justru lebih besar merupakan warga luar Jakarta.

Sementara, jika tarif terintegrasi, Pemprov DKI pasti akan menganggarkan subsidi lebih besar dari sebelum moda transportasi diintegrasi.

"Berapa kemudian penumpang yang diperkirakan akan berasal dari luar DKI Jakarta yang akan kita subsidi? Ini bukan bilangan kecil, Rp 3 triliun itu saya bisa membangun berapa rumah susun di Jakarta," cecar Gilbert.

Hingga rapat berakhir, DPRD dan Pemprov DKI belum menyepakati apakah tarif integrasi transportasi ditetapkan sebesar Rp10 ribu atau mengalami perubahan dengan beberapa pertimbangan yang menjadi perhatian.

Usulan tarif integrasi transportasi Jakarta gagal diputuskan dalam rapat Komisi B DPRD DKI Jakarta pada Rabu ini dikarenakan Sekretaris Daerah DKI Jakarta dan beberapa Dirut BUMD DKI Jakarta bidang transportasi tidak hadir.