Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melawan gugatan praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway, tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW-101 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebanyak 84 bukti dibawa di persidangan.

"KPK telah menyerahkan bukti sebanyak 84 bukti," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 16 Maret.

Ali mengatakan puluhan bukti yang dibawa itu berupa dokumen. Tak dirinci soal dokumen itu tapi dia memastikan semuanya sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

Lebih lanjut, komisi antirasuah membantah proses penahanan melanggar hukum. Penggugat Jhon Irfan Kenway, sambug Ali, dinilai keliru dalam pengahuan preperadilan dalam kasus ini.

"Meskipun penyidikan sudah berjalan lebih dua tahun, KPK tetap berwenang melakukan penyidikan karena ketentuan UU KPK tidak mewajibkan KPK menghentikan penyidikan," ujarnya.

Selain itu, Ali juga menegaskan penghentian kasus Helikopter AW-101 di Puspom TNI tidak memengaruhi penanganan perkara di KPK. "Karena penyidikan antara KPK dan Puspom TNI dilakukan secara terpisah," tegasnya.

Dengan berbagai kondisi ini, KPK juga meminta hakim praperadilan untuk menolak seluruh gugatan Jhon Irfan. "Lalu, menyatakan proses penyidikan perkara ini adalah sah menurut hukum dan mempunyai kekuatan mengikat," ujar Ali.

Diberitakan sebelumnya, Jhon Irfan Kenway mengajukan gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam gugatan yang terdaftar dengan Nomor Perkara 10/Pd.Pra/2022/PN JKT.SEL ada beberapa petitum yang diajukan.

Selaku pemohon, ia meminta hakim menyatakan status tersangkanya tidak sah karena status itu sudah melampaui waktu dua tahun dan tersangka penyelenggara negara sudah dihentikan penyidikannya.

"Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.DIK-44/01/06.2017 tanggal 16 Juni 2017 yang menetapkan pemohon sebagai tersangka oleh KPK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian dikutip dari SIPP PN Jakarta Selatan pada Selasa, 8 Februari.

Selain itu, selaku pemohon, Jhon juga meminta hakim membatalkan pemblokiran aset yang sudah dilakukan. Bukan hanya aset miliknya tapi juga yang dimiliki oleh ibu kandungnya.

Kemudian, dia juga meminta hakim mencabut pemblokiran uang negara sebesar Rp139,43 miliar untuk kemudian tetap dikuasai pemegang kas TNI Angkatan Udara. Adapun uang itu ada di rekening PT. Diratama Jaya Mandiri.

Sebagai informasi, kasus ini bermula pada April 2016 ketika TNI AU mengadakan pembelian satu unit helikopter jenis AW-101. Dalam pengadaan pembelian heli tersebut terdapat dua perusahaan yang mengikuti lelang yaitu PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang.

Kemudian, PT Diratama Jaya Mandiri keluar sebagai pemenang dan menaikkan nilai kontrak menjadi Rp738 miliar. Dari proyek pengadaan tersebut, dideteksi adanya selisih harga sebesar Rp224 miliar yang diindikasikan sebagai kerugian negara.

Terkait dugaan tersebut, KPK menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.

Sementara dari pihak TNI AU, ada lima perwira yang jadi tersangka. Mereka adalah Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachry Adamy yang merupakan mantan pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017 dan Letnan Kolonel TNI AU (Adm) WW selaku mantan Pekas Mabesau.

Selanjutnya, Pelda SS selaku Bauryar Pekas Diskuau; Kolonel (Purn) FTS selaku mantan Sesdisadaau; dan Marsekal Muda TNI (Purn) SB selaku Staf Khusus Kasau (eks Asrena KSAU) juga turut ditetapkan sebagai tersangka.