JAKARTA - Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto meminta Pilkada 2020 harus tetap berjalan meski saat ini Indonesia tengah mengalami pandemi COVID-19. Sebab, di tengah pandemi seperti sekarang ini, sebuah daerah harus dipimpin oleh mereka yang mendapat mandat dari rakyatnya untuk menjalankan roda pemerintahan dengan legalitas yang sah.
"Penundaan pilkada di tengah pandemi akan menciptakan ketidakpastian baru. Mengingat kepala daerah akan berakhir pada Februari," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Senin, 21 September.
Selain itu, Pilkada 2020 harus tetap berjalan karena belum ada kejelasan kapan pandemi COVID-19 dan dampak yang mengikutinya akan berakhir. Jika pemilihan ini ditunda, Hasto menilai nantinya akan banyak kepala daerah yang diisi oleh pelaksana tugas.
Padahal di masa krisis seperti ini, tidak boleh ada jabatan politik yang diisi oleh pelaksana tugas. Semua kepala daerah, katanya, harus memiliki legitimasi dan legalitas yang kuat.
"Pilkada yang dijalankan pada 9 Desember ini, justru memberikan kepastian agar adanya pemimpin yang kuat, adanya pemimpin-pemimpin yang punya program pencegahan COVID yang kemudian dipilih rakyat," tegasnya.
"Mereka calon pemimpin akan memahami betul seluruh skala prioritas untuk rakyat yang tengah menghadapi pandemi. Justru ketika pilkada itu tidak ditunda, itu akan memberikan arah kepastian bagi rakyat," imbuh Hasto.
Diketahui, sejumlah pihak telah banyak yang menyuarakan agar Pilkada 2020 ditunda lebih dulu akibat pandemi COVID-19. Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla yang juga Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 ini menyarankan agar penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 ditunda sampai vaksin COVID-19 ditemukan.
Saran ini didasarkan pada banyaknya pelanggaran protokol pencegahan COVID-19 yang dilakukan oleh bakal pasangan calon saat mendaftar ke kantor KPU daerah setempat. Mereka banyak yang membiarkan adanya kerumunan.
"Kalau terjadi kecenderungan itu ya lebih baik dipertimbangkan kembali waktunya," kata JK di BPMJ Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Sabtu, 19 September.
BACA JUGA:
JK menyebut, pelaksanaan pilkada lebih baik ditunda hingga vaksin COVID-19 tersedia dan telah diinjeksikan kepada masyarakat luas. Sehingga, tak ada lagi kekhawatiran lonjakan kasus COVID-19.
"Saya sarankan ditunda dulu sampai beberapa bulan, sampai dengan vaksin ditemukan. Kalau sampai vaksin ditemukan, nanti (angka kasus) langsung menurun itu," ungkapnya.
Selain itu, Presidium Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo dkk meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo menunda pilkada serentak 2020. Pilkada diminta ditunda karena kondisi pandemi COVID-19.
“Sehubungan dengan rencana pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2020 ini, Komite Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan penyelenggara negara khususnya Pemerintah untuk membatalkan/menunda Pelaksanaan Pilkada tersebut sampai dengan batas waktu yang aman bagi rakyat Indonesia,” kata Presidium KAMI Gatot Nurmantyo dalam keterangan tertulis, Minggu, 20 September malam.
“KPU dan pemerintah perlu memiliki perasaan keprihatinan (sense of crisis) terhadap pandemi COVID-19 yang melanda Tanah Air dan persebarannya masih meninggi dengan korban yang semakin banyak,” imbuhnya.
Terkait desakan tersebut, saat ini pemerintah saat ini telah menyiapkan dua opsi. Pertama adalah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) ataupun melakukan revisi aturan pilkada dan turunannya di tengah pandemi.
Opsi penerbitan Perppu, akan dibagi menjadi dua. Pertama, Perppu diterbitkan untuk mengatur secara keseluruhan masalah COVID-19 saat pelaksanaan pilkada mulai dari pencegahan hingga penegakan hukum. Kedua, Perppu ini akan mengatur secara spesifik mengenaik protokol COVID-19.
Pilkada 2020
Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2020 akan menjadi spesial dibanding pesta demokrasi yang lain. Pilkada 2020 akan tercatat dalam sejarah karena pesta demokrasi ini diselenggarakan saat Indonesia masih masuk masa darurat penyebaran COVID-19.
Untuk memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Pilkada 2020, pemerintah menelurkan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 6 Tahun 2020 atau PKPU No 6/2020. Beleid itu berisi aturan penerapan protokol kesehatan pada setiap tahapan Pilkada.
KPU juga menyiapkan simulasi proses pemungutan hingga penghitungan suara di tempat pemungutan suara dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 yang melibatkan Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Pada penerapannya, KPU harus mengedepankan penggunaan media digital dalam sosialisasi ataupun kampanye. Selain itu KPU juga membatasi peserta sosialisasi secara tatap muka dan membatasi jumlah massa yang mendampingi proses pendaftaran calon peserta pilkada ke KPU.
Selain penyelenggara, partai politik dan bakal calon yang akan hadir dalam pendaftaran juga diwajibkan untuk menerapkan protokol kesehatan. Salah satu penerapannya antara lain saat penyerahan dokumen pendaftaran bakal pasangan calon Pilkada yang diatur Pasal 49 Ayat (1) PKPU 6/2020.
Dalam beleid itu diatur dokumen yang disampaikan harus dibungkus dengan bahan yang tahan terhadap zat cair. Lalu sebelum diterima petugas, dokumen itu disemprot dahulu dengan cairan disinfektan.
Dalam aturan itu juga petugas penerima dokumen wajib mengenakan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan sekali pakai. Aturan lainnya: membatasi jumlah orang yang ada di dalam ruangan; dilarang membuat kerumunan; penyampaian dokumen harus berjarak dan antre; seluruh pihak membawa alat tulis masing-masing; menghindari kontak fisik; penyediaan sarana sanitasi yang memadai; dan ruangan tempat kegiatan dijaga kebersihannya.
Selain proses pendaftaran, pelaksanaan kampanye dan pemungutan suara juga dipastikan akan berbeda dari kondisi normal. Pada proses kampanye aturan protokol kesehatan tercantum pada Pasal Pasal 57-64.
Yang paling akan terasa berbeda pada Pilkada 2020 ini adalah, para pasangan calon harus sebisa mungkin membatasi diri bertemu dengan khalayak ramai. Dalam aturan itu juga diatur mengenai diskusi publik yang harus dilakukan di studio Lembaga Penyiaran. Pada pendukung tak diperkenankan hadir pada acara-acara tersebut.
Untuk mewujudkan peraturan tersebut pemerintah telah menambahkan anggaran penyelenggaraan Pilkada 2020. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akhir Agustus lalu, total anggaran pilkada sebesar Rp15,22 triliun. Sementara yang telah dicairkan pemerintah daerah sebanyak Rp12,01 triliun atau 92,05 persen. Sehingga masih ada 7,95 persen atau Rp1,21 triliun yang belum dicairkan.
Jumlah itu sudah termasuk anggaran tambahan sebagai biaya untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19. Untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) anggaran ditambahkan sebesar Rp4,7 triliun, Bawaslu Rp478 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Rp39 miliar, dengan didukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).