JAKARTA - Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional belakangan mendapat banyak sorotan dari masyarakat. Sebab, Inpres yang diteken pada tanggal 6 Januari tersebut menjadikan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik, mulai dari SIM, STNK, SKCK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga ke soal keimigrasian.
Anggota DPR koalisi pemerintah dari Fraksi Gerindra Fadli Zon mengatakan Inpres tersebut sangat tak adil bagi masyarakat. Dia menilai di satu sisi masyarakat mau dipaksa menjadi peserta BPJS, namun sistem dan manfaat pelayanan BPJS sendiri masih kerap berubah-ubah.
“Kita ingat, pada Oktober 2019 lalu Presiden Joko Widodo pernah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kelas I dari semula Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan; Kelas II dari semula Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per bulan; dan Kelas III dari semula Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan. Namun, pada bulan April 2020, Perpres itu dinyatakan tidak berlaku, sehingga besaran iuran BPJS kembali menjadi seperti yang diatur oleh Perpres No. 82 Tahun 2018, yaitu tarif sebelum kenaikan itu terjadi,” kata Fadli dalam siaran pers yang diterima Voi.id, Minggu 27 Februari.
Anehnya, lanjutnya, pada Mei 2020 Presiden kembali mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, yang merevisi kembali iuran BPJS Kesehatan yang berlaku mulai 1 Juli 2020, dimana iuran Kelas I ditetapkan jadi Rp150 ribu; Kelas II Rp100 ribu; dan Kelas III Rp42 ribu. Bongkar pasang regulasi hanya dalam hitungan bulan semacam itu tentu saja sangat membingungkan para peserta BPJS.
“Yang terbaru, Pemerintah berencana menghapuskan kelas rawat inap BPJS, namun hingga saat ini peserta masih ditariki iuran berdasarkan kelas. Ini kan tidak adil bagi peserta yang membayar iuran lebih mahal. Bisa jadi peserta selama ini membayar iuran Kelas I, tetapi saat giliran mereka mengklaim manfaat, mereka hanya bisa mengklaim standar rawat inap yang saat ini sebenarnya milik Kelas II,” ujarnya.
BACA JUGA:
Menurutnya dalam sepuluh tahun terakhir, dirinya melihat tata kelola BPJS memang masih bersifat bongkar pasang dan amatiran. Di satu sisi, lanjutnya, dari aspek iuran ingin dimaksimisasi, namun aspek manfaatnya justru terus-menerus dikoreksi.
“Jika cara kerja Pemerintah seperti itu, bagaimana orang akan tertarik menjadi peserta? Poin lain yang juga tidak adil adalah terkait buruh migran. Inpres No. 1 Tahun 2022 mewajibkan buruh migran untuk menjadi peserta aktif BPJS selama berada di luar negeri. Ini kan aneh. Di satu sisi buruh migran wajib menjadi peserta BPJS, tetapi layanan BPJS sendiri tak bisa menjangkau mereka,” ucapnya.
“Saya melihat, Inpres ini dikeluarkan semata-mata hanya untuk mengejar dan mengumpulkan dana publik sebanyak-banyaknya. Mulai dari isu dana JHT (Jaminan Hari Tua) di BPJS Ketenagakerjaan, hingga syarat kepesertaan BPJS Kesehatan dalam Inpres No. 1 Tahun 2022, isu pokoknya sebenarnya bukanlah untuk melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat, melainkan negara sedang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perah untuk menjaga kesetimbangan moneter dan fiskal Pemerintah,” pungkasnya.