Bagikan:

Jakarta – Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon menghitung sudah hampir empat bulan masyarakat mengalami kelangkaan minyak goreng. Menurutnya sebagai penghasil CPO terbesar di dunia, ini merupakan sebuah ironi.

Fadli menilai berlarut-larutnya permasalahan ini membuktikan bukan saja betapa buruk dan lambatnya penanganan pemerintah, tapi juga cermin ketidakpekaan terhadap kesulitan masyarakat yang telah tercekik di tengah krisis pandemi. 

Fadli juga menilai pemerintah tentu memiliki segudang alasan. Mulai dari naiknya harga CPO di pasar global hingga meningkatnya lonjakan kebutuhan CPO. Namun, lanjutnya, semua itu problem klise yang sebenarnya sudah dapat diprediksi Karena tak adanya langkah antisipatif yang tepat, kondisi semakin amburadul. Sementara, masyarakatlah yang harus menanggung kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng.

Berdasarkan catatan Ombudsman, krisis minyak goreng di Indonesia tecermin dalam tiga fenomena yaitu penimbunan stok minyak goreng, pengalihan barang dari pasar modern ke pasar tradisional, dan munculnya panic buying di tengah masyarakat. 

Sejumlah upaya memang telah dilakukan  pemerintah. Mulai dari subsidi harga minyak goreng, hingga ke pembatasan keran ekspor melalui Domestic Market Obligation (DMO) dan penerapan Domestic Price Obligation (DPO). Namun, ironisnya kebijakan ini justru kian membuat stok minyak goreng di pasaran semakin terbatas, bahkan langka. 

“Kebijakan subsidi harga yang diterapkan pada kenyataannya gagal karena tak tepat sasaran. Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% nya adalah minyak curah, tapi kebijakan yang dilakukan justru subsidi pada minyak kemasan. Artinya kebijakan yang diambil tak nyambung,” katanya melalui siaran pers yang diterima VOI.id, Rabu 23 Februari.

Fadli menilai pemerintah telah gagal dalam mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng. Menurutnya, ada dua alasan yang membuat pemerintah gagal.

“Pertama, penanganan yang dilakukan pemerintah berangkat dari diagnosa permasalahan yang keliru. Melalui kebijakan DMO, misalnya, pemerintah sedang menekan volume ekspor CPO. Harapannya, pasokan CPO domestic meningkat. Namun, yang terjadi adalah alokasinya tidak terserap optimal untuk produksi minyak goreng, tetapi justru untuk bahan baku biodiesel yang harga jualnya mendapat subsidi sebesar US$85/ton dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS),” ucapnya.

Sementara, lanjutnya, untuk bahan baku minyak goreng, produsen CPO harus menjualnya dengan harga domestik, karena tidak adanya subsidi dari BPDPKS.

“Di sinilah persoalannya. Meskipun ketersediaan stok CPO domestik meningkat, namun regulasi domestiknya tidak bersahabat bagi CPO yang diperuntukkan sebagai bahan baku minyak goreng. Akibatnya minyak goreng tetap langka di pasaran,” ujarnya.

Fadli yang merupakan wakil rakyat Dapil Jawa Barat V ini menjelaskan, dilihat dari sisi ekspor sebenarnya tidak ada lonjakan volume meskipun harga CPO di pasar internasional sedang tinggi, tetapi peningkatan ekspor 2020-2021 ternyata tak signifikan, hanya sebesar 0,2 juta ton. 

“Sehingga, kita sebenarnya perlu waspada dengan kebijakan DPO ini. Penerapan kebijakan DPO yang tak terkendali dan tanpa diiringi pengawasan di tata kelola domestik, dapat menjadi backfire bagi petani kelapa sawit. Sebab dengan kebijakan ini pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian tandan buah segar (TBS) ke petani. Ketika harga CPO melambung saja petani sawit tak dapat ikut merasakan kenaikan keuntungan, apalagi ketika harganya dibatasi. Petani sawit sudah pasti semakin tertekan,” jelasnya.

Catatan kedua, lanjutnya, yang menjadi masalah mendasar dari kelangkaan saat ini adalah adanya praktik kartel dalam tata kelola sawit di Indonesia. Menurutnya, setelah sejumlah upaya sudah dilakukan dan ternyata belum efektif pemerintah tidak perlu alergi mengaitkan kelangkaan minyak goreng saat ini dengan praktik kartel yang jelas terlihat dalam tata kelola sawit di Indonesia. 

“Berdasarkan catatan KPPU, terdapat konsentrasi pasar sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng. Inilah yang membuat struktur pasar perkebunan sawit cenderung oligopolistik, didominasi sekelompok pelaku usaha,” pungkasnya.

Menurut catatan yang dikeluarkan KPK tentang sistem pengelolaan komoditas kelapa sawit, juga disebutkan bahwa hampir Rp 2 triliun, atau lebih dari 50 persen subsidi biodiesel yang dialokasikan dari dari dana BPDPKS, dinikmati oleh satu kelompok usaha. 

Dengan model seperti ini, adanya indikasi terjadinya praktik kartel dalam wujud industri yang mampu mengontrol harga di pasar, semakin besar. Tak mengherankan jika mereka ternyata juga memiliki daya tawar yang kuat terhadap pemerintah.

Praktik kartel juga berdampak buruk terhadap nasib petani. Dominasi satu kelompok industri, tentunya membuat mereka memiliki kemampuan menetapkan dan mengendalikan harga di tingkat petani, yang akan kesulitan untuk mendapatkan harga jual terbaik untuk produk kebunnya. 

Sehingga, kelangkaan minyak goreng yang terjadi saat ini sebenarnya akumulasi dari amburadulnya tata kelola sawit di Indonesia. Sepanjang struktur pasar perkebunan sawit dibiarkan oligopolistik, jangan heran jika kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak akan ada yang efektif untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng.

Pemerintah harus mengurai dominasi pelaku usaha tersebut, agar tak ada lagi konsentrasi pasar sawit di beberapa kelompok saja. Ini langkah penting yang wajib diambil Pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng yang sifatnya berkelanjutan di dalam negeri.