Tak Ada Negara yang Tunda Pemilu karena Pertumbuhan Ekonomi, Titi: Janggal dan Tidak Lazim
Titi Anggraini sebut penundaan pemilu janggal dan tidak lazim. (foto: instagram @tanggraini)

Bagikan:

JAKARTA - Tidak ada satu pun negara di dunia menunda pemilihan umum (pemilu) dengan alasan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Pernyataan ini dilontarkan oleh Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, di Semarang.

"Penundaan pemilu merupakan strategi populer kedua yang dipakai selain amandemen konstitusi," kata Titi Anggraini kepada Antara di Semarang, Sabtu, 26 Februari. Pernyataan ini muncul terkait dengan sejumlah pimpinan partai politik pendukung pemerintah yang mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden.

Pegiat pemilu ini menilai wacana itu merupakan strategi dalam rangka memperpanjang durasi kekuasaan. Selain itu juga menghindari pembatasan masa jabatan dengan cara menghindari pelaksanaan pemilu.

Titi mengemukakan bahwa pada masa pandemi COVID-19 sejumlah negara memang menunda pemilu mereka untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi, pertimbangannya adalah demi keselamatan jiwa warga negara.

"Hal itu pun dilakukan dengan sangat cermat, pertimbangan hukum yang ketat, serta proses yang terbuka," ujarnya.

Kalau alasannya pertumbuhan ekonomi, menurut Titi, selain sangat janggal, tidak lazim, bahkan jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.

Menurut Titi, pasal 7 UUD RI Tahun 1945, jelas mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Selain itu, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 juga secara eksplisit menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali.

"Mestinya elite dan pimpinan parpol patuh dan taat dalam menjalankan konstitusi, bukan malah menawarkan sesuatu yang jelas tidak ada celahnya dalam UU Pemilu maupun konstitusi kita," tutur Titi.

Ia mengemukakan bahwa budaya konstitusi yang buruk selain merupakan pendidikan politik yang buruk, juga bisa menumbuhkan apatisme yang lebih besar pada publik terhadap para pejabat.