Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku mendapat pengaduan masyarakat terkait pengelolaan dana program penurunan stunting di daerah.

Hal ini yang membuat KPK menggelar Rapat Koordinasi Dukungan Informasi Program Percepatan Penurunan Stunting Pemerintah Daerah pada Selasa, 22 Februari.

Saat membuka rapat, Direktur Koordinasi Supervisi (Korsup) Wilayah III KPK Bahtiar Ujang Purnama menyinggung ada sejumlah potensi risiko dalam program pencegahan stunting di daerah.

"KPK mengidentifikasi beberapa potensi risiko korupsi dalam program pencegahan stunting pada tahun 2022 ini yaitu pada pengadaan, distribusi, dan pelaksanaan intervensi percepatan penurunan program stunting, serta dalam identifikasi ketepatan sasaran penerima program seperti pendataan, distribusi, dan evaluasi," kata Bahtiar dalam keterangan tertulisnya.

Selain itu, potensi lain berupa indikasi kegiatan fiktif baik di level pemerintahan pusat hingga kelurahan atau desa serta duplikasi anggaran juga diendus KPK.

Dengan kondisi ini, Bahtiar meminta penjelasan dari para pihak terkait, mengenai kemajuan Program Stranas Percepatan Penurunan Stunting yang sudah dilakukan pemerintah daerah.

Apalagi, saat ini masih ada sejumlah provinsi yang tingkat prevalensi stunting-nya di atas 30 persen. "Apakah ada strategi khusus untuk mempercepat penurunan stunting di sana? Karena untuk mencapai target 14 persen tinggal 2 tahun lagi hingga tahun 2024," ungkap Bahtiar.

Rapat Koordinasi Koordinasi Dukungan Informasi Program Percepatan Penurunan Stunting Pemerintah Daerah antara KPK dan sejumlah pihak secara daring/Humas KPK

Rapat Koordinasi Koordinasi Dukungan Informasi Program Percepatan Penurunan Stunting Pemerintah Daerah antara KPK dan sejumlah pihak secara daring/Humas KPK

Menanggapi hal ini, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) Suprayoga Hadi menjelaskan tim yang dibentuk untuk menurunkan stunting sudah berhasil menurunkan angka stunting dari 27 persen menjadi 21 persen pada 2021 lalu.

Meski begitu, pihaknya terus memperhatikan tujuh provinsi di Tanah Air yaitu NTT, Sulbar, Aceh, NTB, Sultra, Kalsel, dan Kalbar karena prevalensi stuntingnya masih tinggi.

"Upaya percepatan di sana harus lebih istimewa, lebih extraordinary. Ada juga 5 provinsi yang jumlah stuntingnya besar, karena penduduknya padat. Yaitu Jabar, Jateng, Jatim, Banten, dan Sumut. Jadi 12 provinsi itu yang perlu diberi penekanan khusus pada 2022 hingga 2024," tegasnya.

Sementara itu, Deputi Bidang Pembangunan Manusia Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi mengatakan anggara untuk percepatan pengentasan stunting ini memang besar. Sehingga perlu pengawasan maksimal bagi masyarakat.

Sebagai informasi, anggaran pencegahan stunting memang meningkat setiap tahunnya. Bila pada 2018 anggaran yang disediakan berjumlah Rp24 triliun, pada 2021 kemarin anggarannya mencapai Rp35,3 triliun.

Dengan melihat angka tersebut, Subandi menilai, KPK memang perlu hadir untuk mencegah terjadinya celah korupsi di tengah pengentasan gizi buruk yang merugikan demografi Indonesia.

"Kami perlu kerja sama dengan KPK karena alokasi dana besar dan sasaran lokasinya luas. Kami berharap alokasi ini tepat sasaran," pungkasnya.