PBNU Sebut Aturan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid Sejalan dengan Hadis Nabi
ILUSTRASI ANTARA

Bagikan:

JAKARTA -  Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 5 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala menuai pro dan kontra.

Namun, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai aturan tersebut tidak menghalangi syiar agama Islam.

"SE pengaturan pengeras suara tersebut tidak menghalangi syiar agama," ujar Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa kepada wartawan, Selasa, 22 Februari.

Zulfa mengatakan pedoman itu sejalan dengan hadis nabi agar tidak menganggu orang lain karena pengeras suara di luar.

"Spiritnya adalah mengejawantahkan hadis nabi: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , Muslim yang baik, adalah yang lisan dan perbuatannya tidak mengganggu orang lain," kata Zulfa.

Karena dalil tersebut, lanjutnya, PBNU mendukung pedoman yang diterbitkan menteri agama karena sejalan dengan prinsip yang dianut Nahdlatul Ulama (NU). Di mana, kata Zulfa, setiap aturan dan undang-undang harus bertujuan tercapainya kemaslahatan bersama seluruh warga negara.

"Sebagaimana syariat Islam itu sendiri sejatinya selalu membawa kemaslahatan, kemudahan, keadilan dan rahmat bagi pemeluknya dan umat manusia," katanya.

Hanya saja, PBNU meminta Kemenag untuk menyosialisasikan SE tersebut secara masif dan aktif guna memberikan informasi secara utuh kepada umat muslim di Indonesia.

"Kemenag sebaiknya menyosialisasikan SE tersebut secara aktif dan masif, karena penolakan masyarakat biasanya disebabkan belum membaca dan memahami secara detil maksud dari SE tersebut," pungkas Zulfa.

Sebelumnya, Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengkritik kebijakan terbaru Kementerian Agama terkait panduan pemakaian pengeras suara (speaker) di masjid/musala. Aturan itu diatur dalam Surat Edaran No.5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Bukhori menilai, secara substansi pedoman tersebut mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat. Mengingat jangkauan dari edaran tersebut tidak hanya dialamatkan kepada masjid atau musala yang berada di wilayah perkotaan, tetapi juga di wilayah pedesaan.

“Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid," ujar Bukhori di Jakarta, Selasa, 21 Februari. 

"Selain alasan di dalam budaya komunal setiap laku individu terkonstruksi secara alamiah untuk mengutamakan kepentingan umum. Tradisi tersebut juga tidak menemukan masalah ketika diterapkan di lingkungan yang homogen seperti pedesaan,” sambungnya.

Legislator dapil Jawa Tengah ini mengatakan, dalam konstruksi kebudayaan masyarakat di pedesaan, bunyi keras tersebut telah menjelma sebagai soundscapeatau bunyi lingkungan.

Sehingga, kata Bukhori, apabila frekuensi atau pun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang, maka dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk yang biasa terpapar oleh lantunan suara dari masjid/musala, walaupun dilakukan secara bersahut-sahutan dengan volume yang keras.

“Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” ungkapnya.