JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengambil langkah rem darurat dan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 14 September. Keputusan ini menuai pro kontra, sebab PSBB dianggap akan sangat mempengaruhi perekonomian nasional.
Lalu, apakah penerapan PSBB di Ibu Kota akan menyebabkan kontraksi semakin dalam di kuartal III? Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad mengatakan, tanpa penerapan PSBB pun pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 akan berada dalam zona negatif. Namun, penanganan PSBB kali ini menjadi penentu dalam atau tidaknya kontraksi yang akan dialami Indonesia di kuartal ke III.
"Tanpa PSBB sebenarnya juga tetap akan negatif karena trennya ke arah situ. Kalau PSBB salah penanganan, saya khawatir bukan di kuartal III, tetapi dampaknya di kuartal ke IV," tuturnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Jumat, 11 September.
Menurut Tauhid, sebagai provinsi penyumbang 15 persen hingga 17 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), tentu saja penerapan PSBB ketat di DKI Jakarta akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Apalagi, kata Tauhid, di sektor perdagangan jika digabung dengan Bodetabek bisa mencapai 30 persen. Efeknya tidak hanya pada DKI Jakarta namun juga pada daerah sekitarnya. Karena itu, penanganan PSBB kali ini harus berjalan efektif.
Tauhid mengakui, dampak ke ekonomi mamang akan sangat terasa, karena DKI Jakarta memegang pengaruh yang besar terhadap PDB nasional, tetapi recovery atau proses pemulihan ekonomi setelahnya justru akan cepat jika PSBB ketat berjalan efektif.
"Menurut saya itu yang paling penting. Karena itu perlu dukungan semua pihak agar PSBB ketat ini bisa efektif. Tetapi, pendekatannya tidak boleh sama dengan yang dilakukan pada Februari-Maret lalu. Harus ada strategi yang berbeda," tuturnya.
Tauhid mengatakan, di tengah tingginya peningkatan penyebaran COVID-19 di Tanah Air khususnya DKI Jakarta, sudah seharusnya dilakukan work from home (WFH) atau kerja dari rumah. Hal ini karena akan percuma jika PSBB ketat diberlakukan namun perkantoran tetap beroperasi.
"Percuma karena nanti klaster perkantoran semakin besar. Kalau 11 sektor kemarin masih diizinkan sama saja tidak ketat. Jadi harus ada dukungan dari pemerintah pusat, daerah dan masyarakat," ucapnya.
Tiga Alasan Anies
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk mengembalikan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai Senin, 14 September mendatang. Anies mengaku memiliki tiga alasan.
Tiga alasan ini merupakan parameter angka yang saat ini menunjukkan kondisi wabah COVID-19 di DKI saat ini menjadi mengkhawatirkan.
BACA JUGA:
"Dari tiga data yaitu angka kematian, keterpakaian tempat tidur isolasi, keterpakaian ICU khusus COVID-19 menunjukkan bahwa situasi wabah di Jakarta ada dalam kondisi darurat," kata Anies di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Senin, 9 September.
Soal angka kematian, Anies menyebut angkanya di DKI memang rendah, yaitu 2,7 persen. Lebih rendah dari tingkat kematian nasional di angka 4,1 persen, bahkan lebih rendah dari tingkat kematian global di angka 3,3 persen.
Meski persentase angka kematian atau case fatality rate Jakarta masih di bawah angka rata-rata nasional dan dunia, namun secara absolut jumlahnya semakin hari terus meningkat.
Kedua, soal keterpakaian tempat tidur perawatan COVID-19. Kekhawatiran menipisnya kapasitas tempat tidur dilandasi dengan angka kasus aktif COVID-19 yang terus tinggi.
Ketiga, keterpakaian tempat tidur ICU khusus pasien COVID-19 bergejala berat. Perhitungan dia, jika jumlah tidak ditambah, maka tempat tidur ICU tak bisa lagi menampung pasien pada 15 September mendatang. Bila kapasitas telah ditambah namun tidak dilakukan "rem darurat", maka akan kembali penuh pada 25 September.
"Jangka pendeknya, kita meningkatkan kapasitas. Tapi, jika tidak ada pembatasan ketat, maka ini hanya sekedar mengulur waktu. Dalam kurang dari 1 bulan, rumah sakit akan kembali penuh," jelas Anies.