JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyebut China ikut campur dalam Pilpres AS 2020. China bahkan disebut berusaha menggagalkan upaya Trump kembali terpilih dengan mendorong aksi protes anti-rasisme. Saat menyatakan hal tersebut Trump juga mengunggah sebuah artikel yang ditulis seorang kolumnis. Artikel itu ia sebut tak sesuai dengan penilaian komunitas intelijen AS tentang upaya China sejauh ini.
Melansir CNN, Selasa, 8 September, komentar dan klaim ini serupa dengan yang pernah dibuat oleh banyak orang yang ditunjuknya. Segalanya dibuat untuk mencapai tujuan yang sama: mempermainkan teori bahwa China ikut campur untuk membuat Biden terpilih.
Di sisi lain, Trump tidak menanggapi laporan yang mengatakan bahwa Rusia sedang berusaha membantunya agar kembali terpilih. Trump mengunggah artikel Breitbart di Twitternya, yang mengutip penulis dan kolumnis, Gordon Chang.
Chang mengatakan bahwa Partai Komunis China "berusaha membuat hidup sangat sulit" bagi Trump dengan "memicu" protes kekerasan Black Lives Matter. "Dari sedikit bukti yang kami miliki tentang aktivitas China, dengan botnya dan yang lainnya, mereka tampaknya mendukung Wakil Presiden Biden, mencoba membuat hidup sangat sulit bagi Presiden Trump, serta memicu protes, tentu saja," kata Chang. "Saya pikir China telah memutuskan untuk memilih kandidat Partai Demokrat."
Tidak jelas darimana informasi Chang berasal, tetapi pemerintah AS dan Silicon Valley belum menawarkan penilaian publik tentang dugaan aktivitas rahasia China yang mirip dengan apa yang ia gambarkan. Satu-satunya komentar publik dari kelompok-kelompok tentang campur tangan di Pilpres AS berfokus pada aktivitas pro-Trump yang terkait dengan Rusia.
Selain itu, artikel tersebut tampak bertentangan dengan apa yang dikatakan pejabat intelijen AS yang melindungi Pilpres 2020 dari campur tangan asing. Pejabat intelijen mengatakan mereka justru menemukan bukti bahwa Rusia saat ini mencampuri Pilpres AS untuk merugikan kampanye Joe Biden.
Secara terpisah, beberapa bukti tentang upaya Rusia telah muncul, termasuk pengumuman Facebook pekan lalu bahwa sebuah kelompok yang merupakan bagian dari upaya Rusia untuk ikut campur dalam pemilihan presiden AS 2016 kembali mencoba menargetkan orang Amerika. Komunitas intelijen menilai bahwa China dan Iran lebih suka Trump kalah pada November, namun para pejabat intelijen juga belum memberikan indikasi bahwa kedua negara tersebut akan bertindak seperti Rusia.
BACA JUGA:
"Kami menilai bahwa China lebih suka Presiden Trump tidak menang kembali. China telah memperluas upaya pengaruhnya menjelang November 2020 untuk membentuk lingkungan kebijakan di AS menekan tokoh politik yang dipandangnya menentang kepentingan China, menangkis dan melawan kritik terhadap China," kata pejabat tinggi intelijen AS di bidang keamanan pemilu, Bill Evanina, dalam sebuah pernyataan publik yang dikeluarkan bulan lalu.
Rusia, di sisi lain menggunakan berbagai langkah terutama menjatuhkan mantan Wakil Presiden Biden. Mereka memandang bahwa Biden adalah anti-Rusia, tulis Evanina dalam pernyataan yang sama. "Ini konsisten dengan kritik publik Rusia terhadapnya (Biden) ketika ia menjadi Wakil Presiden dan berperan dalam kebijakan Pemerintahan Obama di Ukraina dan dukungannya kepada anti-Putin di Rusia," kata Evanina.
Sementara mantan anggota CIA John Sipher mengatakan bahwa ada perbedaan yang jelas dalam cara Evanina mencirikan ancaman yang ditimbulkan oleh China dan Rusia. "Beberapa aktor yang terkait Rusia juga berusaha untuk meningkatkan pencalonan Presiden Trump di media sosial dan televisi Rusia," kata John Sipher.
"Perbedaan sederhananya adalah antara campur tangan terselubung di satu sisi dan preferensi publik. China menggunakan pengaruh, diplomasi, dan komentar dalam pers dan organ propaganda. Rusia menggunakan disinformasi, akun palsu, bot, dan pendanaan rahasia sebagai bagian dari kampanye rahasia," tutup Sipher.