Ketika Polisi Hong Kong 'Hajar' Gadis 12 Tahun dan Satuan Kepolisian Membela Represivitas Itu
Ilustrasi foto (Free to Use Sounds/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Seorang anggota kepolisian Hong Kong dikecam keras setelah kedapatan menjatuhkan seorang gadis 12 tahun ke tanah selama protes prodemokrasi. Aksinya terekam dalam video dan viral.

Video yang diunggah kelompok media mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong (HKUST) menunjukkan peristiwa ketika gadis itu berjalan di sepanjang trotoar dan tiba-tiba polisi anti-huru hara menghentikannya. Gadis itu sempat melarikan diri sebelum polisi mengejar dan menjatuhkannya.

Melansir CNN, Selasa, 8 September, satuan polisi membela tindakan para perwiranya. Mereka mengatakan telah mengerahkan 'kekuatan minimum yang diperlukan' dalam situasi tersebut. Mereka juga menyebut seluruh pengunjuk rasa, termasuk gadis itu telah dicegat untuk menghentikan demo.

"Selama interaksi, dia tiba-tiba lari dengan cara yang mencurigakan," kata salah seorang pasukan tersebut.

"Oleh karena itu, para petugas mengejar dan menundukkannya dengan menggunakan kekuatan minimum yang diperlukan," tambahnya. 

Polisi mengatakan gadis itu telah melanggar larangan kota untuk berkumpul lebih dari dua orang. Pihak kepolisian juga menambahkan gadis tersebut diberi tiket penalti dengan denda 2 ribu dolar Hong Kong.

Protes di tengah pandemi

Hampir 300 pengunjuk rasa ditangkap pada Minggu, 6 September. Aksi tersebut merupakan salah satu demonstrasi pro-demokrasi terbesar sejak China memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional pada Juni.

Warga Hong Kong pada awalnya dijadwalkan untuk pergi ke tempat pemungutan suara. Tetapi pada Juli pemimpin kota itu menunda pemilihan legislatif selama setahun, dengan alasan masalah kesehatan masyarakat. Beberapa aktivis pro-demokrasi, yang memiliki tujuan memenangkan mayoritas di Dewan Legislatif kota, menuduh pemerintah menggunakan pandemi COVID-19 sebagai alasan.

Hong Kong telah berada dalam kekacauan politik sejak Juni 2019, ketika protes anti-pemerintah meletus di kota itu. Demonstrasi awalnya didorong oleh RUU ekstradisi kontroversial yang akhirnya dibatalkan.

Sejak itu, demonstrasi berkembang menjadi gerakan protes yang lebih luas terhadap pemerintah pro-China, pemerintah pusat China, dan kepolisian yang melakukan kekerasan. Polisi secara konsisten berargumen bahwa tindakan mereka karena para pengunjuk rasa juga menggunakan kekerasan. Pihak pengunjuk rasa dengan keras membantah melakukan kesalahan dan tuduhan kebrutalan tersebut.

Krisis tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, tetapi COVID-19 dan kebutuhan akan jaga jarak sosial menghentikan kesempatan untuk berkumpul di depan umum selama 2020. Saat jeda, China kemudian memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional sebelum kerusuhan dapat berlanjut.

Di bawah undang-undang yang melanggar legislatif semi-demokratis Hong Kong, mereka yang dihukum bisa menghadapi hukuman seumur hidup. Sejak diberlakukan, setidaknya 24 penangkapan telah dilakukan termasuk empat aktivis mahasiswa atas unggahan media sosialnya. Partai-partai politik bubar, simbol protes yang ada di mana-mana ditarik ke seluruh kota, dan buku-buku yang dianggap melanggar hukum telah ditarik dari toko dan perpustakaan.