JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi berpendapat, pendekatan keadilan restoratif yang dilakukan oleh Polri dan Kejaksaan Agung belakangan ini rentan menjadi instrumen transaksional bila tidak ada ketentuan jelas.
"Penerapan restorative justice tanpa ketentuan yang jelas dan penerapan yang akuntabel memang bisa jadi rentan dan menjadi instrumen transaksional," kata Hendardi di Jakarta dilansir dari Antara, Rabu, 26 Januari.
Kekhawatiran ini juga yang diingatkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar keadilan restoratif tidak menjadi ajang transaksional. "Pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana Polri akan mengontrol penerapan pendekatan ini, sehingga tidak menjadi ruang negosiasi pihak berperkara dan memastikan penerapannya selektif, berkeadilan dan akuntabel," tegasnya.
Sementara di Kejaksaan Agung, yang juga memiliki aturan tersendiri restorative justice bisa dimaknai sebagai koreksi atas langkah kepolisian yang terlanjur melakukan proses penyidikan atas suatu perkara, padahal bisa diselesaikan dengan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Sebagai pengendali kebijakan penuntutan, sesuai asas dominus litis, tambah dia, peran Kejaksaan sangat strategis untuk memastikan bahwa limpahan perkara dari kepolisian bukanlah sesuatu yang diterima begitu saja.
"Dengan demikian, penerapan keadilan restoratif di tubuh Kejaksaan berkontribusi signifikan pada penguatan sistem peradilan pidana," kata Hendardi.
Untuk memperkuat penerapan keadilan restoratif ini, ujar dia, sejumlah regulasi perlu disusun, sambil menunggu pengaturan yang lebih kokoh sebagaimana telah direncanakan untuk diadopsi dalam RUU KUHAP.
"Penerapan prinsip keadilan restoratif ini bukan melulu mengandalkan diskresi Kapolri atau Jaksa Agung, tetapi harus berpedoman pada ukuran-ukuran yang disepakati, sehingga potensi-potensi abusif atas pendekatan ini bisa dihindari," katanya.
Institusi Polri dan Kejaksaan Agung sebelumnya merilis kinerja pengarusutamaan pendekatan "restorative justice" (RJ) dalam penanganan perkara pidana.
BACA JUGA:
Polri merilis 11.811 kasus diselesaikan dengan pendekatan restorative justice sepanjang tahun 2021. Sedangkan Kejagung merilis 53 kasus sepanjang Januari 2022 juga diselesaikan dengan pendekatan yang sama.
Menurut aktivis HAM ini, langkah dua institusi penegak hukum ini merupakan salah satu ikhtiar untuk menangani problem akut overcapacity lembaga pemasyarakatan, akibat orientasi penegakan hukum yang memusat pada tujuan retributif, yakni keadilan dalam bentuk pembalasan yang berujung pada pemidanaan.
"Ikhtiar serupa sempat didorong oleh berbagai kalangan untuk menyusun suatu regulasi setingkat Peraturan Presiden tentang Reorientasi Penyidikan Perkara Pidana di Kepolisian, tetapi hingga hari ini tidak tuntas," ujar Hendardi.