Bagikan:

JAKARTA – Juru bicara Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI Yanuar Prihatin, menanggapi soal 4 nama Kepala Otorita Ibu Kota Negara Nusantara yang pernah disebut Presiden Joko Widodo. Diantaranya, Bambang Brodjonegoro, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Abdullah Azwar Anas, dan Tumiyono. 

Anggota Pansus RUU IKN itu menjelaskan, Undang-Undang tentang IKN mengamanatkan, bahwa Kepala Otorita IKN ditunjuk dan diangkat oleh Presiden paling lambat 2 (dua) bulan setelah Undang-Undang ini disahkan.

"Karena undang-undang ini tidak secara tegas merinci kriteria Kepala Otorita IKN, maka kriteria ini pun sepenuhnya ada pada Presiden," ujar Yanuar kepada VOI, Kamis, 20 Januari. 

Hanya saja, lanjut Yanuar, DPR patut mengingatkan bahwa seharusnya Kepala Otorita IKN ini adalah orang yang memiliki soft skill lebih kuat ketimbang hard skill. 

"Mengapa? Ini ibu kota baru. Segala halnya dimulai dari nol. Merancang ibu kota baru bukan sekedar menyangkut aspek teknikal saja semacam tata ruang, penataan dan pembangunan infrastruktur," jelas Yanuar. 

Menurutnya, yang terpenting di tahap awal adalah menyangkut sikap penerimaan masyarakat setempat terhadap ibu kota baru ini. Pasalnya, banyak hal akan bersentuhan langsung dengan kebutuhan, kepentingan dan keinginan masyarakat.

"Suku-suku di sana menghendaki agar kehadiran ibu kota di Kalimantan Timur tidak mengabaikan sendi-sendi kultural, spiritual, kesejahteraan, keadilan dan jati diri setempat. Jangan sampai mereka justru terusik dan terancam dengan kehadiran ibu kota di wilayahnya," tegasnya. 

Selain itu, sambung Yanuar, tempat tinggal, tanah dan mata pencaharian warga setempat yang terdampak oleh kehadiran ibu kota negara bukan soal yang sepele. Jika hal ini tidak diselesaikan sejak awal, kata dia, maka pembangunan dan pengembangan ibu kota negara akan mengahadapi masalah dengan masyarakat setempat.

"Siapa yang harus mengantisipasi dan menyelesaikan soal ini? Tentu saja Kepala Otorita IKN," katanya. 

Yanuar juga mengingatkan bahwa Kepala Otorita IKN harus sosok yang punya empati tinggi terhadap persoalan di masyarakat. Utamanya bagaimana bisa berkomunikasi dengan baik kepada warganya. 

"Bayangkan, jika Kepala Otorita IKN adalah orang yang tidak memiliki kepekaan kultural dan etnik, apalagi tidak punya empati terhadap kepentingan warga setempat, pembangunan fisik IKN akan menghadapi tantangan berat," terangnya. 

"Bila kemampuan komunikasi sang Kepala Otorita ini buruk, keadaan akan lebih rumit lagi," kata Yanuar. 

Hal ini, sebut Yanuar, mengisyaratkan, bahwa Kepala Otorita IKN itu wajib memiliki kemampuan untuk menyelami suasana kebatinan warga di sana. Memahami apa yang mereka inginkan, mengerti bagaimana caranya menghormati hak adat. 

Di atas itu, tambahnya, dia mampu meyakinkan masyarakat setempat bahwa kehadiran IKN akan berdampak positif bagi masa depan mereka.

"Ini adalah kemampuan soft skill karena terkait dengan watak, karakter, kehalusan budi, kesantunan akhlak, kerendahan hati, kesanggupan adaptasi dari seorang Kepala Otorita IKN. Jadi, ini bukan sekedar urusan menata dan membangun fisik kota baru," demikian Yanuar.