Didukung Presiden, Prabowo dan Jenderal Andika, Mahfud Tegaskan Kasus Pengadaan Satelit di Kemenhan Diusut Tuntas
Menkopolhukam Mahfud MD/Antara

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mendapat dukungan Presiden RI, Joko Widodo untuk menuntaskan proses hukum kasus pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada 2015.

“Presiden juga meminta agar segera dibawa ke ranah peradilan pidana," ujar Mahfud MD lewat akun Instagramnya @mohmahfudmd, Minggu, 16 Januari.

Bahkan, kata dia, para menteri di Kabinet Indonesia Maju juga mendukung kasus tersebut dibawa ke pengadilan.

"Menkominfo setuju, Menkeu bersemangat. Menhan Prabowo dan Panglima TNI Andika juga tegas mengatakan bahwa ini harus dipidanakan,” kata Mahfud.

Mahfud mengungkapkan, keputusan tersebut diambil pasca Badan Pengawas Keuangan Pembayaran (BPKP) menemukan adanya dugaan pelanggaran hukum yang merugikan negara saat melakukan audit.

Dia mengaku mantap mengambil ranah pidana setelah beberapa pihak dianggapnya menghambat proses.

“Sepertinya ada yang menghambat untuk dibuka secara jelas masalahnya. Akhirnya, saya putuskan untuk minta BPKP melakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT),” ungkap Mahfud.

Hasilnya, kata dia, ada pelanggaran peraturan perundang-undangan dan negara bisa terus dirugikan. "Makanya, saya putuskan untuk segera berhenti rapat melulu dan mengarahkan agar diproses secara hukum,” jelas dia.

Keputusan masuk ranah pidana itu, kata Mahfud, tetap mendapatkan dukungan dari Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto dan Panglima TNI, Jenderal TNI Andika Perkasa.

“Menhan dan Panglima TNI tegas mengatakan tidak boleh ada pengistimewaan kepada korupsi dari institusi apa pun, semua harus tunduk pada hukum," jelasnya.

Selain itu, tambah Mahfud, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin juga menyatakan kesiapan untuk membongkar kasus ini.

"Saya berbicara dengan Jaksa Agung yang ternyata juga menyatakan kesiapannya dengan mantap untuk mengusut kasus ini,” katanya.

Oleh karena itu, Mahfud mengajak seluruh pihak untuk mencermati penuntasan kasus yang merugikan negara yang hampir Rp1 triliun itu.

“Jadi, mari bersama-sama kita cermati dengan seksama pengusutan kasus ini,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Indonesia harus membayar denda uang hampir Rp1 triliun terkait pelanggaran hukum di balik kontrak pembayaran sewa satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur di Kemenhan periode 2015-2016.

Uang sebanyak itu wajib dibayarkan kepada dua perusahaan yakni, Avanti Communications Grup dan Navayo. Sebab Pengadilan Arbitrase Inggris pada 9 Juli 2019 telah memutus bahwa Kemenhan harus membayar uang senilai Rp515 Miliar kepada Avanti.

Sedangkan, pada Mei 22 Mei 2022 pengadilan Arbitrase Singapura mengabulkan gugatan Navayo. Di mana Indonesia diwajibkan membayar uang sebesar USD20,9 juta atau setara Rp314 miliar.

Kejadian ini bermula ketika pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda l telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur. Dengan demikian, terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.

Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), kata Mahfud, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Jika tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan bisa digunakan negara lain.

Untuk mengisi kosongnya pengelolaan slot orbit itu, Kemenkominfo memenuhi permintaan Kemhan untuk mendapatkan hak pengelolaan. Hal itu bertujuan untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication. Kontrak itu diteken pada 6 Desember 2015.

Seiring berjalannya waktu, Kemenhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu kepada Kemenkominfo. Lalu, pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda 2 dan Nusantara A1A kepada PT. Dini Nusa Kusuma. Namun demikian, perusahaan itu tak mampu mengatasi permasalahan dalam pengadaan Satkomhan.