Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Habiburokhman menyoroti kasus yang menimpa Habib Bahar Bin Smith dan Ferdinand Hutahaean. Keduanya dilaporkan atas dugaan kasus ujaran kebencian dan penistaan agama.

Menurut jurubicara Partai Gerindra itu, kasus habib Bahar dan Ferdinand adalah bukti bahwa bangsa Indonesia saat ini masih seperti terbelah.

"Saat ini kita seolah kembali terbelah terkait dua kasus dugaan ujaran kebencian yang sangat menarik perhatian," ujar Habiburokhman kepada wartawan, Senin, 10 Januari.

Anggota Komisi III DPR ini lalu menjelaskan kedua kasus tersebut. Bahar bin Smith diperiksa, dan ditahan aparat penegak hukum terkait pernyataannya saat berdakwah.

Dikatakan Habiburokhman, sebagian masyarakat membelanya dan menyatakan apa yang dilakukannya murni bagian dari menyampaikan pendapat dan mengkritik. Juga menjadi bagian dari demokrasi yang tidak boleh dipidana.

"Sebagian lain meminta aparat menindak tegas dengan menangkap dan menahan beliau dengan alasan tindakan tersebut merupakan ujaran kebencian yang berbahaya," jelasnya.

Tak berapa lama, Ferdinand Hutahaean dilaporkan terkait pernyataan 'Allahmu lemah' di Twitter. Sebagian masyarakat juga membelanya, menyatakan apa yang disampaikan adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang walaupun tidak tepat, tetapi tak harus dihadapi dengan pelaporan ke polisi.

"Tapi sebagian lain meminta aparat menindak tegas dengan menangkap dan menahan beliau. Alasannya tindakan tersebut merupakan ujaran kebencian yang berbahaya," imbuhnya.

Meski begitu, Habiburokhman enggan membandingkan pribadi dua orang tersebut. Yang jelas, kata dia, keduanya menggambarkan bahwa ketegangan antara dua kelompok anak bangsa yang disebabkan oleh Pilpres 2019 masih belum berakhir. Hal ini, kata dia, yang menimbulkan munculnya kasus-kasus hukum dan fenomena saling lapor terkait ujaran kebencian.

"Saya tidak membandingkan sosok pribadi dua orang warga negara Indonesia ini, tapi dua kasus itu menggambarkan belum berakhirnya ketegangan dua kelompok besar anak bangsa, yang akhirnya berimbas pada munculnya kasus-kasus hukum, fenomena saling melaporkan terkait ujaran kebencian," teran legislator Dapil Jakarta Timur ini.

Habib menilai, setiap hari selama beberapa tahun ini, bangsa Indonesia sering terjebak pada perdebatan soal kasus-kasus dugaan ujaran kebencian seperti di atas.

"Kasus dan orang-orangnya bisa berbeda-beda, tetapi substansi perseteruan kita tetaplah sama. Kalau pelakunya kawan tentu akan dibela mati-matian, tetapi kalau lawan tentu ingin mereka dipenjarakan," katanya.

"Setiap hari kita berganti peran, kadang meminta orang dibiarkan bebas berbicara, besoknya minta orang lain dipenjara. Mau sampai kapan kita seperti ini? Berapa banyak waktu, tenaga, biaya yang kita kuras?" sambung dia.

Wakil Ketua MKD DPR itu menilai, media sosial memang membuat bangsa Indonesia mudah sekali menyampaikan pendapat di ruang publik. Pernyataan spontan pun, kata dia, bisa dengan cepat tersebar dalam hitungan menit bahkan detik.

"Kadang apa yang ingin disampaikan tidak sepenuhnya sama dengan apa yang dituliskan," katanya.

Terkadang juga, tambah dia, apa yang dituliskan dimaknai berbeda oleh orang yang menyaksikan. Hal tersebut yang membuat siapapun mudah terjerat kasus hukum dugaan ujaran kebencian.

"Jangan dikira yang dekat kekuasaan bisa terus selamat, sebab kalau tekanan dahsyat tetap bisa juga terjerat," tandas Habiburokhman