Rumit! Ramai-Ramai Tolak Usul Polri di Bawah Kementerian
Gedung Mabes Polri (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Usulan Gubernur Lemhanas Agus Widjojo menempatkan Kepolisian RI (Polri) di bawah Kementerian Keamanan Dalam Negeri mendapat banyak penolakan. Usulan tersebut disebut bikin gaduh, tak menarik dan bisa memunculkan isu dwifungsi Polri. 

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad menilai, usul penempatan Polri di bawah kementerian semestinya dikaji lebih dahulu sebelum diungkap ke publik.

Menurut Dasco, usul tersebut mesti dikaji secara matang agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sebab Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) merupakan lembaga yang berpengaruh.

"Saya pikir apa yang disampaikan itu sebaiknya sudah melalui kajian dahulu yang matang sebelum kemudian dilemparkan ke publik," ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 4 Januari. 

Ketua Harian Partai Gerindra itu menuturkan, Lemhanas semestinya juga menyosialisasikan usul tersebut lebih dahulu kepada DPR agar mengetahui apakah usul itu dapat dilaksanakan atau tidak.

"Terlepas dari kemudian setuju tidak setuju itu sebaiknya kajian dibuat mendalam dan disosialisasikan dulu, terutama kepada stakeholder dan tentunya pembentuk undang-undang yang kemudian kita lihat apakah bisa dilaksanakan atau enggak," kata Dasco. 

 

Sementara, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra Habiburokhman, menilai usulan pembentukan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dan Dewan Keamanan Nasional dari Gubernur Lemhannas Agus Widjojo tidaklah menarik.

 

Apalagi, salah satu tujuan itu adalah untuk menjadikan kepolisian (Polri) berada di bawah kementerian. Justru, kata Habiburokhman, usulan tersebut akan memperumit birokrasi di lembaga tinggi negara.

"Saya pikir malah lebih rumit usulan tersebut," kata Habiburokhman di Gedung DPR, Selasa, 4 Januari. 

 

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menilai bahwa ide Gubernur Lemhanas tersebut terlalu memaksakan kehendak. Lebih baik, kata Habiburokhman, maksimalkan saja lembaga atau badan yang sudah ada saat ini.

"Kalau kita Fraksi Gerindra, saya pikir yang ada sekarang sudah baik, kita jangan terlalu banyak eksperimen, nanti kasihan rakyatnya. Kurang menarik lah itu idenya kali ini," tegasnya. 

Habiburokhman mengingatkan, usulan itu didasarkan dengan adanya kritikan masyarakat karena pengawasan Polri dinilai tidak berjalan. Sehingga solusinya bukan dengan menyederhanakan badan-badan negara.

"Terlalu banyak kita, komisi ini, komisi itu, dewan ini, dewan itu, sehingga lebih birokratis. Nah, kalau konteks pengawasan terhadap Polri kan sudah jelas di parlemen, anggarannya juga di sini di DPR, tinggal saya pikir model pengawasannya diperkuat," ujar dia. 

 

 

Khawatir Dwifungsi Polri

 

Indonesia Police Watch (IPW) mengkritik usulan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Pur) Agus Widjoyo yang menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri. IPW menilai, hal itu bisa dianalogikan seperti hembusan angin pada bukit karang di laut, yang tidak memiliki pengaruh apapun pada institusionalisasi Polri.

 

Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso, mengatakan usulan tersebut akan membentur bukit karang yang kokoh terkait regulasi dan praktek politik yang rumit. Sebab, sesuai pasal 30 ayat 4 UUD 1945 tertulis, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

 

Sementara dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Sedangkan pasal 8 UU NO. 2 Tahun 2002 ditetapkan dengan jelas bahwa institusi Polri berada dibawah Presiden sebagai Kepala Negara.

"Bila usulan Gubernur Lemhannas tersebut hendak diwujudkan akan ada proses panjang perubahan atau amandemen konstitusi, Pencabutan Ketetapan MPR dan revisi UU POLRI," ujar Sugeng di Jakarta, Selasa, 4 Januari. 

 

Selain itu, lanjutnya, akan menghadapi proses politik rumit dan penuh bargaining-bargaining politik dengan partai partai besar dan pimpinan partai untuk dapat mendorong usulan Gubernur Lemhannas tersebut.

Memperhatikan polemik terkait usulan tersebut, kata Sugeng, usulan Gubernur Lemhannas ini hanyalah sebagai suatu momentum mengingatkan masyarakat, politisi bahkan presiden tentang isu "dwifungsi polri" yang makin menguat pasca reformasi. Terutama peran sospol yang sangat nyata dan menjadi sorotan kelompok dwifungsi ABRI yang dulu ada dan sekarang sudah selesai tersebut. 

 

"Sehingga nampak ada pergeseran sentrum kekuatan dari dwifungsi ABRI pada masa orde baru, menjadi dwifungsi Polri pada era reformasi saat ini," katanya. 

Sugeng menjelaskan, istilah 'dwifungsi Polri' sendiri memang tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi nyata teraplikasi berdasarkan pasal 28 UU 2 Tahun 2002 tentang Polri. Oleh karenanya, hal ini harus menjadi satu pemikiran serius dari pimpinan Polri.

"Wujud dari 'dwifungsi Polri' itu muncul pada penempatan polisi-polisi aktif dengan penugasan oleh kapolri pada lembaga-lembaga sipil, kementerian dan BUMN," sebutnya. 

Disamping itu, jelas Sugeng, adanya potensi tahun politik dimana menurut kemendagri sedikitnya ada 272 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 harus diisi oleh pelaksana tugas (Plt). Sementara pelaksanaan pilkadanya akan berlangsung serentak pada 2024 dan membutuhkan keamanan dalam negeri.

"Dalam penunjukan pelaksana tugas, pemerintah selalu mempertimbangkan orang yang mampu untuk menjaga keamanan hingga selesainya pilkada. Sektor keamanan dalam negeri menjadi prioritas utama dan adalah tupoksi Polri," terangnya.

Sugeng pun mengurai, dalam praktek politik pernah terjadi preseden pada Pilkada Jabar 2018. Saat itu, pemerintah menunjuk perwira tinggi Polri yang juga sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komjen Pol. Mochamad Iriawan atau Iwan Bule sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jabar. 

 

Penunjukkannya sendiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 tentang Pengesahan Pemberhentian Dengan Hormat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Masa Jabatan Tahun 2013-2018 dan Pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat yang ditandatangani Presiden Jokowi, pada 8 Juni 2018. Namun, banyak kalangan yang memprotesnya tapi pemerintah tetap melantik karena jaminan bisa menjaga keamanan wilayah.

Memperhatikan hal ini, IPW menilai pimpinan polri harus cermat, hati-hati dan mawas diri terkait isu dwifungsi Polri agar tidak terjadi kecemburuan dari institusi lain.

"Dengan bergulirnya usulan Gubernur Lemhannas yang menurut IPW memiliki relasi dengan isu 'dwifungsi Polri' maka IPW meminta Presiden memberikan atensi khusus agar tidak terjadi sikap kebablasan dari institusi Polri yang berpotensi munculnya riak riak politik dari kelompok yang merasa tertinggal," demikian Sugeng. 

Diklaim sebagai Upaya Reformasi Keamanan 

 

Gubernur Lemhannas Agus Widjojo menjelaskan, usulannya terkait pembentukan Dewan Keamanan Nasional bukan semata-mata untuk menempatkan Polri di bawah kementerian. Ia mengklaim, usulan tersebut merupakan upaya untuk penyempurnaan reformasi sektor keamanan. 

"Jadi ini adalah untuk mengingatkan kembali wacana tentang pemikiran-pemikiran yang ada dalam berbagai komponen bangsa," kata Agus, Senin, 3 Januari. 

Agus menuturkan, selain Polri, institusi lainnya seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) nantinya juga akan ditempatkan di dalam Dewan Keamanan Nasional. Sehingga diharapkan nantinya harus ada kerja sama yang erat antara insitusi tersebut dengan kementerian terkait.

"Sekarang kita bertanya, polisi itu melaksanakan kebijakan nasional apa? Tidak bisa sebuah lembaga operasional itu merumuskan kebijakannya sendiri, melaksanakannya sendiri, membuat anggarannya sendiri, melaksanakannya sendiri, mengawasi sendiri tidak ada check and balances," ungkapnya.

Selain itu, pihaknya juga mempertimbangkan untuk memasukkan Imigrasi ke dalam portofolio tersebut. Selain Imigrasi, institusi lain seperti Bea Cukai, Bakamla, juga akan dimasukan dalam Dewan Keamanan Nasional. 

"Jadi bukan urgensi atau bukan, tapi itu nanti akan kita harapkan untuk menambahkan meningkatkan efisiensi dan efektifitas kebijakan nasional.  Jadi ada sebuah kebijakan nasional, yang sifatnya komprehensif dalam masalah keamanan dalam negeri yang terbagi habis oleh instansi-instansi operasional tadi itu," tuturnya.

 

Agus menjelaskan, di dalam sistem politik demokratis di Indonesia, institusi-institusi operasional seperti TNI dan Polri tidak bisa berdiri independen dan otonomi dari otoritas politik. Keberadaan Polri di bawah presiden justru tidak efektif dan hanya membebani presiden.