JAKARTA - Posisi sekretaris jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belum terisi pasca terpilihnya KH Miftachul Akhyar sebagai Rais Aam dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum yang baru pada Muktamar PBNU ke-34.
Pakar politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menilai ada dua kandidat yang cocok menjadi sekjen PBNU. Yakni Nusron Wahid dan Juri Ardiantoro.
Alasannya, menurut Umam, Nusron Wahid bisa menjadi supporting system yang memadai untuk mengelola fungsi keorganisasian secara efektif di PBNU.
"Dia juga memiliki kemampuan komunikasi politik publik yang lebih luwes, mudah cair dengan berbagai elemen bangsa, dan memiliki energi besar untuk turun basis dan mengonsolidasikan struktur jam'iyah Nahdlatul Ulama se-Indonesia dan juga PCI-NU di 39 negara di dunia," ujar Umam di Jakarta, Rabu, 29 Desember.
Hanya saja, kata Umam, Nusron Wahid terlebih dulu harus mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Golkar. "Syaratnya, Mas Nusron harus mengundurkan diri dari struktur Golkar untuk selanjutnya bisa fokus berkhidmat untuk PBNU," sambungnya.
Sementara Juri Ardiantoro yang saat ini menjabat sebagai Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bidang Informasi dan Komunikasi Politik di Istana Presiden dan juga Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), dikatakan Umam juga potensial. Sebab nama Juri, ungkap Umam, merupakan hasil diskusi dengan lingkaran Gus Yahya dan saran dari lingkaran Kiai Said Aqil Siradj.
"Nama Juri Ardiantoro memang relatif lebih 'make sense' dan mudah melebur dengan visi dan komitmen Gus Yahya kepada Muktamirin di Muktamar 34 NU lalu yang berjanji untuk kembali ke garis perjuangan Khittah NU 1926, dengan menjaga netralitas dan independensi NU dari jebakan politik praktis," jelas Umam.
Di level ini, kata Umam, Juri yang juga mantan Ketua KPU RI itu bukan orang partai, profesional, bisa menjadi 'titik netral' yang mampu mengkomunikasikan sikap kebangsaan NU secara konstruktif kepada seluruh jejaring sel-sel kekuatan politik Nahdliyyin yang tersebar di hampir semua partai politik di Indonesia, tanpa harus membuat NU terjebak di dalam politik praktis itu sendiri.
"Karena itu, sosok sekjen yang netral namun paham dinamika politik, menjadi penting dan relevan untuk dipertimbangkan," kata Umam.
BACA JUGA:
Selain itu, menurut Umam, Juri juga memiliki model komunikasi yang relatif luwes dan organisatoris muda sehingga memiliki energi lebih untuk menyapa dan mengonsolidasikan struktur NU di akar rumput. Termasuk membangun komunikasi dengan seluruh jaringan NU kultural yang belakangan semakin bermunculan di berbagai lini profesional.
Umam menyebut jaringan ini mulai banyak yang merasa bangga, terpanggil dan semakin terbuka menunjukkan identitas ke-NU-annya.
"Selain itu, yang tidak kalah penting, pertimbangan memposisikan Juri Ardiantoro sebagai Sekjen PBNU juga bisa menjembatani kelompok Nahdliyin yang terdiaspora ke berbagai elemen organisasi ekstra kampus yang cukup mapan, utamanya dari elemen PMII, HMI, dan lain sebagainya," pungkas Umam.