Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Defny Holidin menyebut anggaran Rp90,45 miliar yang dikeluarkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) untuk pengadaan influencer atau buzzer adalah sebuah pemborosan. Sebab, menurut dia, sejumlah kementerian tentunya sudah memiliki tim komunikasi massa sehingga tak perlu lagi jasa influencer.

"Menurut saya itu termasuk pemborosan. Kenapa? Karena alokasi PR atau Public Relation di masing-masing kementerian terkait khususnya tim yang menangani pandemi, kalau dalam kasus ini kita bicarakan itu, sebetulnya sudah ada," kata Defny ketika dihubungi wartawan, Jumat, 21 Agustus.

Dia juga menilai, di masa seperti sekarang ini, ketika media massa telah menjalankan tugasnya untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah, maka sebaiknya pemerintah lebih memfokuskan diri untuk menjalankan program secara konsisten.

Dengan menjalankan programnya secara konsisten, Defny mengatakan, pemerintah sama saja telah melakukan sosialisasi tanpa perlu menyewa influencer atau buzzer.

"Selama pemerintah masih tidak konsisten dalam membuat kebijakan, selama pemerintah masih mengabaikan sains dalam dasar penanganan pandemi, selama pemerintah masih belum memprioritaskan atau belum membuat skala prioritas yang jelas maka selamanya apa yang dilakukan pemerintah akan terus mengalami mispresepsi di benak publik," jelasnya.

"Jadi prinsipnya, kalau kita lihat dari cara kerja influencer dari sisi alokasi anggaran dan dari sisi pemerintah belum konsisten, maka sebetulnya peran influencer itu sama sekali tidak diperlukan," imbuh dia.

Lagipula, Defny menilai, selama ini influencer juga kerap misleading saat menyampaikan program kerja pemerintah dan hal ini sebenarnya berbahaya bagi publik. Selain itu, peran influencer dan buzzer ini kini malah beralih dari alat sosialisasi menjadi alat propaganda baru untuk menciptakan presepsi positif dari masyarakat. 

Sehingga, penggunaan para pendengung sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh pemerintah. "Peran influencer itu sama sekali tidak diperlukan dan secara anggaran, rasionalitas anggaran kita akan mengatakan itu pemborosan," ujarnya.

Diketahui, kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan menelusuri situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) untuk melihat data pengadaan program dan jasa di 34 kementerian, lembaga, kejaksaan dan Polri. Pengumpulan data dilakukan dari 14 Agustus hingga 18 Agustus 2020.

"Total anggaran belanja pemerintah untuk aktivitas melibatkan influencer dengan 40 paket sebesar Rp 90,45 miliar, semakin marak sejak 2017," kata Peneliti ICW Egi Primayogha, Kamis, 20 Agustus.

Tercatat pada 2017 lalu, paket pengadaan influencer hanya berjumlah 5 dengan nilai pengadaan Rp 17,68 miliar. Angka ini bertambah karena pada 2019 terdapat 13 paket pengadaan influencer namun angka nilai paketnya hanya berkisar Rp6,67 miliar.

Adapun kementerian maupun lembaga yang paling banyak melakukan pengadaan influencer adalah Kementerian Pariwisata dengan 22 paket pengadaan dan memakan anggaran sebesar Rp77,66 miliar. Lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  dengan 12 paket pengadaan dengan total belanja Rp 1,6 miliar.

Selanjutnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan 4 pengadaan senilai Rp 10,83 miliar, Kementerian Perhubungan ada 1 pengadaan senilai Rp 195,8 juta dan Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan 1 pengadaan senilai Rp 150 juta.