Menakar Alasan Pemerintahan Jokowi Anggarkan Rp90 Miliar untuk <i>Buzzer</i>
Ilustrasi buzzer atau influencer (StartupStockPhotos/Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Pengamat media sosial Eddy Yansen menyebut buzzer atau influencer wajar digunakan pemerintah untuk melakukan sosialisasi terhadap program kerja maupun produk hasil kerja mereka, termasuk undang-undang, saat ini.

Hal ini disampaikannya terkait pro kontra mengenai buzzer yang kerap terjadi di media sosial serta adanya temuan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menganggarkan Rp1,29 triliun untuk belanja aktivitas digital di mana Rp90,45 miliar di antaranya untuk membiayai aktivitas yang melibatkan influencer atau buzzer.

"Buzzer bisa dilihat sebagai salah satu bentuk media massa juga di zaman media baru seperti saat ini. Sehingga menurut saya wajar digunakan sebagai sarana sosialisasi kebijakan untuk menjangkau orang sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan semua media yang dikonsumsinya," kata Eddy saat dihubungi VOI, Jumat, 21 Agustus.

Penggunaan influencer atau buzzer, sambung dia, bukan berarti pemerintah tidak mampu menjelaskan kebijakan yang mereka buat kepada masyarakat. 

Menurutnya, pemerintah memanfaatkan para pendengung ini karena mereka dianggap mampu memenuhi semua media mereka untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang ada sehingga masyarakat lebih mudah memahami.

"Buzzer biasanya diminta untuk melakukan sosialisasi dengan memanfaatkan media (sosial, red) mereka. Misalnya, IG (Instagram, red), YouTube channel, dan lainnya melalui ide kreatif mereka dan mengkomunikasikan ke pengikut mereka atau penonton mereka dengan bahasa atau gaya komunikasi yang khas milik masing-masing buzzer," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, ICW mendapatkan adanya aliran dana sebesar Rp1,29 triliun untuk belanja aktivitas digital. Dana tersebut telah digunakan pemerintah pusat periode 2014-2020. 

Data ini diperoleh dari hasil penelusuran pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sejumlah kementerian dan lembaga dengan menggunakan kata kunci media sosial atau social media, influencer, key opinion leader, komunikasi dan YouTube.

Dari penelusuran tersebut kemudian ditemukan 40 paket pengadaan dengan dua kata kunci influencer dan key opinion leader. Selain itu, ICW juga mendapati anggaran belanja untuk influencer ini terus bertambah sejak tahun 2017. 

Tercatat pada 2017 lalu, paket pengadaan influencer hanya berjumlah 5 dengan nilai pengadaan Rp 17,68 miliar. Angka ini bertambah karena pada 2019 terdapat 13 paket pengadaan influencer namun angka nilai paketnya hanya berkisar Rp6,67 miliar.

Adapun kementerian maupun lembaga yang paling banyak melakukan pengadaan influencer adalah Kementerian Pariwisata dengan 22 paket pengadaan dan memakan anggaran sebesar Rp77,66 miliar. Lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  dengan 12 paket pengadaan dengan total belanja Rp 1,6 miliar. Selanjutnya, Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan 4 pengadaan senilai Rp 10,83 miliar, Kementerian Perhubungan ada 1 pengadaan senilai Rp 195,8 juta dan Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan 1 pengadaan senilai Rp 150 juta.

Peneliti ICW Egi Primayogha menilai, tak ada masalah ketika pemerintah punya anggaran untuk influencer atau buzzer. "Tapi di sisi lain jasa itu kemudian digunakan untuk bersolek agar sesuatu itu terlihat bagus padahal di balik itu rasanya tidak," kata dia dalam diskusi bertajuk Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer, Kamis, 20 Agustus.

Lebih lanjut dia menilai, gelontoran dana besar untuk belanja aktivitas digital hingga bernilai triliunan tersebut menandakan Presiden Jokowi tidak percaya diri dengan program di pemerintahannya.

Egi memaparkan, tingginya keterlibatan influencer atau buzzer saat pemerintah akan mengambil kebijakan juga berdampak negatif karena akan membiasakan pemerintah untuk mengambil jalan pintas.

"Penggunaan influencer yang dikhawatirkan adalah dapat membawa pemerintah pada kebiasaan mengambil jalan pintas guna memuluskan sebuah kebijakan publik," ujarnya.

"Hal ini tidak sehat dalam demokrasi karena berpotensi mengaburkan substansi kebijakan yang tengah disusun dan kemudian berakibat pada tertutupnya ruang percakapan publik," imbuh Egi.

Sementara Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan influencer atau buzzer yang bersuara karena pesanan bisa disamakan dengan iklan. Apalagi, mereka dibayar untuk menyatakan pendapatnya.

Namun, hal ini ternyata memberikan dampak bagi masyarakat karena mereka tak bisa membedakan apakah para pendengung itu menyampaikan suara pribadi atau iklan. "Mungkin beberapa orang ada yang bisa mengira tapi lebih banyak yang tidak," katanya.

Sehingga, sebagian masyarakat secara sadar kemudian membenarkan yang disampaikan influencer atau buzzer meski hal itu tidak tepat. 

"Pemisahan yang tegas antara mana yang iklan, mana yang pesanan, dan mana yang genuine itu yang sulit kita temukan akhir-akhir ini dengan fenomena influencer atau buzzer ini," ujarnya.