Bagikan:

JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjelaskan detail temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pemborosan pengadaan tanah makam COVID-19 dengan APBDP 2020.

Wagub DKI Jakarta Ahmad Riza Patria balik mempertanyakan soal pemborosan pengadaan makam COVID-19 yang dimaksud PSI. Riza Patria menegaskan tidak ada istilah ‘kelebihan’.

“Loh nanti kekurangan salah kelebihan salah. Semua sudah diperhitungkan. Kebutuhan makam bukan hanya untuk COVID-19 tapi juga pemakaman yang biasa. Jadi tiada kelebihan, malah justru kurang,” kata Riza Patria kepada wartawan, Senin, 23 Agustus malam.

Sebelumnya, sorotan PSI terkait dengan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta yang melakukan pengadaan tanah makam COVID-19 sebesar Rp71.24 miliar di Jalan Sarjana, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jaksel. Temuan BPK mengindikasikan pemborosan Rp3,3 miliar.

“Awalnya, anggaran pengadaan tanah sudah dihapus karena APBD defisit akibat pandemi. Tapi kami heran mengapa tiba-tiba Pak Anies meminta anggaran Rp 219 miliar untuk pengadaan tanah makam COVID-19, sementara sebenarnya Pemprov masih memiliki banyak tanah. Sayangnya lagi, saat terjadi dugaan pemborosan anggaran Rp3,33 miliar pengadaan tanah makam COVID-19 tersebut, beliau malah seolah lari dari tanggung jawab. DPRD sudah mempertanyakan di rapat Paripurna, tapi tidak juga dijawab Pak Gubernur,” kata anggota Komisi D DPRD DKI dari Fraksi PSI Justin Adrian, Senin, 23 Agustus.

Total anggaran pengadaan tanah makam COVID-19 adalah Rp219 miliar. Sedangkan realisasinya sebesar Rp186,24 miliar, yang digunakan untuk membeli tanah makam di 5 lokasi.

Salah satunya ada di Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, dengan luas 1,43 hektare yang terdiri dari 6 bidang. Harga satuan untuk 4 bidang tanah sebesar Rp5,2 juta per meter persegi dan 2 bidang lainnya Rp4,75 juta per meter persegi. 

BPK menemukan 4 kejanggalan pengadaan tanah ini. Kejanggalan pertama adalah lokasi tanah 50 meter dari Jalan Sarana. Kedua, tidak ada akses ke tanah makam, sehingga harus melalui jalan setapak di atas tanah milik warga. Ketiga, tanah berada di cekungan, yaitu evelasi 3 meter di bawah Jalan Sarjana.

Kejanggalan keempat, lokasi tanah berada di zonasi H.3 pemakaman yang tidak akan bisa dipakai untuk bangunan dan mendapatkan IMB. Namun perhitungan harga pasar menggunakan tanah pembanding dengan peruntukan zonasi R.9 rumah KDB rendah. 

“Secara logika, karena ada 4 kejanggalan, maka seharusnya harga tanah lebih rendah dibandingkan tanah di sekitarnya. Akan tetapi BPK menemukan bahwa Pemprov DKI tidak memperhitungkan 4 faktor tersebut sebagai komponen yang mengurangi harga dan tidak diperhatikan saat negosiasi harga dengan pemilik tanah,” ujar Justin.

Berdasarkan berbagai persoalan tersebut, BPK kemudian meminta Dinas Pertamanan dan Hutan Kota melakukan perhitungan ulang harga pasar. Hasilnya menunjukkan pengadaan tanah ini lebih mahal Rp3,33 miliar.