Bagikan:

JAKARTA - Inspektur Provinsi DKI Jakarta, Syaefuloh Hidayat membantah pernyataan Fraksi PSI DPRD DKI yang menyebut terdapat pemborosan pembelian lahan makam di Jalan Sarjana, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

PSI menilai DKI membeli lahan untuk pemakaman pada tahun 2020 dengan pengeluaran anggaran Rp3,33 miliar lebih mahal dari semestinya. Kesimpulan ini diambil PSI dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Syaefuloh menegaskan, tidak ada pemborosan dalam pengadaan lahan makam karena Pemprov DKI Jakarta melakukan pembayaran berdasarkan hasil appraisal Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) dan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

"Kalau melihat temuan BPK, tidak ada kalimat pemborosan. Judul temuannya adalah Penilaian Harga Pasar dari Konsultan Jasa Penilai Publik atas Pengadaan Ruang Terbuka Hijau Makam Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Tidak Didasarkan oleh Kondisi Tanah dan Data Pembanding yang Sebenarnya," kata Syaefuloh di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Selasa, 24 Agustus.

Syaefuloh mengaku BPK memang menemukan masalah dalam hasil pemeriksaan fisik atas pengadaan tanah dengan data pembandingnya.

BPK menemukan ada kondisi tanah di lapangan tidak sesuai dengan laporan akhir pembuatan harga perkiraan ganti rugi yang dibuat oleh KJPP, yakni ketinggian rata-rata yanah, lebar jalan, lokasi, peruntukan, dan harga jual.

Namun, Syaefuloh menegaskan rekomendasi atas temuan BPK hanya bersifat administratif. Menurutnya, tak ada kerugian negara yang ditimbulkan

"Rekomendasinya, bersifat administratif, untuk membuat pedoman teknis dalam penyusunan kerangka acuan kerja (KAK) dan menambah pedoman teknis atau standar operasional prosedur (SOP) terkait kewajiban reviu atas laporan akhir pembuatan harga perkiraan ganti rugi KJPP, khususnya reviu atas data pembanding. Tidak ada kerugian negara atas temuan ini," ucap Syaefuloh.

Sebelumnya, Anggota Fraksi PSI DPRD DKI Justin Andrian menyebut ada pemborosan anggaran sebesar Rp3,3 miliar dari lahan makam di Srengseng Sawah yang dibeli Rp71,2 miliar.

Menurut Andrian, BPK menemukan 4 kejanggalan pengadaan tanah ini. Kejanggalan pertama adalah lokasi tanah 50 meter dari Jalan Sarjana. Kedua, tidak ada akses ke tanah makam, sehingga harus melalui jalan setapak di atas tanah milik warga. Ketiga, tanah berada di cekungan, yaitu evelasi 3 meter di bawah Jalan Sarjana.

Kejanggalan keempat, lokasi tanah berada di zonasi H.3 pemakaman yang tidak akan bisa dipakai untuk bangunan dan mendapatkan IMB, namun perhitungan harga pasar menggunakan tanah pembanding dengan peruntukan zonasi R.9 rumah KDB rendah.

Sayangnya, kejanggalan ini tak dimasukkan dalam laporan akhir pembuatan harga perkiraan ganti rugi yang dibuat oleh KJPP, yang dijadikan acuan Pemprov DKI untuk menyepakati nilai pembelian tanah.

“Secara logika, karena ada 4 kejanggalan, maka seharusnya harga tanah lebih rendah dibandingkan tanah di sekitarnya. Akan tetapi BPK menemukan bahwa Pemprov DKI tidak memperhitungkan 4 faktor tersebut sebagai komponen yang mengurangi harga dan tidak diperhatikan saat negosiasi harga dengan pemilik tanah,” tutur Justin.