Gubernur Banten Sesalkan Aksi Massa Buruh Paksa Masuk Ruang Kerjanya
Gubernur Banten Wahidin Halim/FOTO VIA ANTARA

Bagikan:

TANGERANG - Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) menyesalkan aksi massa buruh yang menjebol paksa masuk ke ruang kerjanya saat melakukan unjuk rasa.

Wahidin Halim menyebut aksi tersebut bisa menjadi preseden buruk ketika gubernur, bupati, dan wali kota dalam mengambil keputusan.

"Saya pribadi tidak merasa tersinggung. Seharusnya negara memberikan rasa aman. Karena apa yang saya lakukan sesuai dengan peraturan," kata Gubernur Banten Wahidin Halim di kediamannya, Kelurahan Pinang, Kota Tangerang dikutip Antara, Kamis, 23 Desember.

"Saya serahkan kepada pihak yang berwenang," kata Wahidin.

Wahidin mengaku tidak bisa membayangkan andaikan dirinya saat itu berada di ruang kerjanya. Dia menyesalkan tindakan buruh memaksa masuk ruangan kerja tapi tidak ada upaya mempertahankan atau melindungi.

"Ini seharusnya menjadi perhatian masyarakat juga negara. Keputusan itu harus didukung," katanya.

Wahid menyeebut, gubernur, bupati dan wali kota merupakan pejabat negara yang harus terlindungi dari perbuatan anarkis. Demonstrasi atau menyampaikan pendapat di muka umum ada aturannya dan disampaikan dengan cara-cara yang baik serta menggunakan etika.

"Bisa jadi preseden semua gubernur, bupati dan wali kota nanti pada takut untuk mengambil keputusan. Kita juga diikuti oleh peraturan-peraturan yang menentukan," kata Wahidin.

Dia menjelaskan, UMP dan UMK diputuskan melalui musyawarah. Melalui proses dewan pengupahan dengan indikator dan variabel yang jelas termasuk melibatkan BPS yang mengukur pertumbuhan ekonomi, inflasi, kelayakan hidup dan lain-lain. Melalui kesepakatan Dewan Pengupahan, selanjutnya direkomendasikan kepada Gubernur.

"Penetapan UMP dan UMK itu untuk kepentingan yang lebih luas, tidak hanya untuk buruh-buruh yang di pabrik. Tapi juga untuk yang di perhotelan, pariwisata dan sebagainya yang kalau sekarang karena terdampak pandemi COVID-19 belum pulih," kata Wahidin.

Menurutnya, di Indonesia konflik perburuhan terjadi setiap tahun. Buruh minta naik, pengusaha tidak mau naik.

Pemerintah provinsi, kabupaten/kota memfasilitasi, membangun silaturahmi serta memoderasi pertemuan itu dan damai-damai saja.

"Tapi pada akhirnya kita yang diserang, sejauh mana pemerintah terlibat dalam hubungan perburuhan," katanya.