Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri jadi sorotan setelah menyinggung presidential thresold sebaiknya menjadi 0 persen. Ia lantas menyebut pernyataannya ini bukan berarti dia menyinggung ranah politik karena dia hanya ingin korupsi bisa diberantas.

Saat acara Silatnas dan Bimtek Anggota DPRD Partai Perindo pada Jumat, 10 Desember, Firli Bahuri mengatakan semestinya ambang batas yang ditetapkan untuk maju dalam kontestasi politik 0 persen. Dengan begitu, ongkos mahal dalam berpolitik bisa ditekan.

"Sekarang orang masih heboh dengan apa itu pak, parlemen treshold, presidential treshold, seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. 0 persen dan 0 rupiah. Itu, pak, kalau kita ingin mengentaskan dari korupsi," kata Firli saat itu.

Pernyataan ini kemudian ditanggapi sejumlah pihak. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN Guspardi Gaus, mendukung pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang menyebut Presidential Threshold harus ditiadakan guna mengentaskan korupsi di Indonesia.

Sementara itu, Sekretaris Fraksi PPP Achmad Baidowi atau Awiek justru menilai Ketua KPK Firli Bahuri tidak perlu menyibukkan diri mengurusi presidential threshold.

Menurut Awiek, Firli seharusnya fokus saja pada tugas, pokok, dan fungsi KPK yaitu memberantas korupsi di negeri ini. Sebab, soal ambang batas itu pada pemilu adalah tupoksi di DPR.

"Sebaiknya Firli fokus pada tupoksi di KPK, ndak perlu ngurus hal yang di luar tupoksinya," ujarnya saat dihubungi.

Tak hanya itu, dia meminta Firli untuk tidak melempar isu yang berada di luar tupoksi sebagai pimpinan KPK. "Mahar politiknya di mana? Sebaiknya tidak melempar isu di luar tupoksinya. Sebaiknya fokus pada internal KPK," kata Awiek.

Berbagai pernyataan ini kemudian kembali ditanggapi Firli. Dalam keterangan tertulisnya, ia menegaskan apa yang disampaikannya itu guna mencegah terjadinya praktik korupsi. Sebab, ambang batas ini kerap membuka peluang pemberian mahar dan menjadikan politik di Tanah Air berbiaya mahal.

"Pendapat saya terkait PT 0 persen adalah semata-mata untuk tujuan penanganan potensi dan pemberantasan korupsi yang maksimal karena itulah konsentrasi KPK," kata Firli dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 14 Desember.

"Bukan berarti saya memasuki ranah politik. Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya tidak memasuki ranah kamar politik atau kamar kekuasaan yudikatif," imbuh eks Deputi Penindakan KPK ini.

Firli mengatakan keluhan tentang biaya politik yang mahal dan butuh modal besar ini bukan hal baru yang didengar KPK. Bahkan, dalam beberapa kali rapat koordinasi, komisi antirasuah kerap mendengar keluhan tersebut.

"KPK menyerap informasi dan keluhan langsung dari rumpun legislatif dan eksekutif di daerah yang mengeluhkan biaya pilkada yang mahal, sehingga membutuhkan modal besar. Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi balik modal," ungkapnya.

Melihat kondisi itu, Firli berpandangan jika ambang batas atau Presidential Thresold ini kemudian dihapuskan akan membuat mahar politik kemudian menghilang dan biaya kampanye lebih murah. "Sehingga pejabat terpilih lebih leluasa bekerja baik ketimbang mikir korupsi untuk balik modal dan balas budi donatur," tegasnya.

"Jadi kenapa tidak PT ini 0 persen jika memang biaya politik hasrat korupsi yang membabi buta bagi seluruh pejabat politik, maka harus segera ditangani akar persoalannya. Salah satunya presidential threshold," imbuh Firli.

Sekali lagi, dia menegaskan pernyataan ini jangan sampai ditarik ke ranah politik. "Saya hanya ingin Indonesia bebas dan bersih dari praktik korupsi," ujarnya.

"Untuk membebaskannya, maka perlu peran segenap anak bangsa dan perlu orkestrasi nasional membangun budaya antikorupsi dalam upaya pemberantasan korupsi," pungkas Firli.