PAN Dukung Ketua KPK soal Penghapusan <i>Presidential Threshold</i> untuk Upaya Pencegahan Korupsi
Ilustrasi (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN Guspardi Gaus, mendukung pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang menyebut Presidential Threshold harus ditiadakan guna mengentaskan korupsi di Indonesia. Sebab, dengan adanya Presidential Threshold maka demokrasi Tanah Air masih diwarnai dengan biaya politik yang tinggi.

Menurut Guspardi, sudah seharusnya pilpres yang membutuhkan ongkos politik mahal dihilangkan. Karena kata dia, bisa dibayangkan jika ada figur yang kredibel, berintegritas dan hebat mau maju menjadi calon pemimpin bangsa tetapi tak punya kapital yang memadai.

"Ini yang dijadikan peluang bagi oligarki untuk mensponsori figur yang ingin maju dalam pemilihan presiden. Setelah sosok pemimpin yang dibiayainya itu terpilih, maka kepentingan para oligarki tentu harus diakomodir sehingga tersandera kepentingan pihak lain yang mendorong terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," ujar Guspardi kepada wartawan, Senin, 13 Desember. 

Lebih lanjut, Politikus PAN itu menilai, penerapan sistem presidential threshold terkesan sebagai upaya membatasi hak konstitusional rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya. Presidential threshold juga lari dari semangat reformasi lantaran tidak membuka ruang demokrasi guna memberikan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memilih calon yang terbaik tanpa perlu diatur dan diseleksi terlebih dahulu oleh mekanisme ambang batas.

Menurut legislator asal Sumatera Barat itu, dengan dihapusnya aturan presidential threshold juga dapat menjadi salah satu jalan keluar mencegah polarisasi di tengah masyarakat. Sebab kata Guspardi, jangan sampai pesta demokrasi yang seharusnya disikapi dengan kegembiraan, justru menciptakan permusuhan yang berkepanjangan di antara anak bangsa.

Oleh karena itu, dikatakan anggota Baleg DPR ini, setiap partai politik seharusnya di berikan hak konstitusionalnya mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. 

 

"Bagaimanapun pengalaman kontestasi Pilpres 2019 lalu seharusnya bisa menjadi pelajaran penting bahwa penetapan presidential threshold telah mengakibatkan rakyat terpolarisasi menjadi dua kubu yang saling berhadapan," kata Guspardi.

 

Akibatnya, tambah dia, terjadi berbagai pembelahan yang membuat terjadinya persekusi, timbulnya fitnah, merajalelanya hoaks, dan lain-lain. Lalu dilanjutkan dengan narasi-narasi yang menjatuhkan pasangan lawan atau kubu lawan.
 

"Sikap semacam ini dapat menciptakan konflik horizontal maupun vertikal yang berujung pada tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat," pungkas Guspardi Gaus. 

 

 

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyinggung soal ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) yang tengah ramai menjadi perbincangan. Diketahui, ada sejumlah pihak yang tengah menggugat ambang batas ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu dia singgung Firli Bahuri saat memberikan materi di acara Silatnas dan Bimtek anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia Partai Perindo yang digelar di Jakarta Concert Hall, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat, 10 Desember. 

"Sekarang orang masih heboh dengan apa itu pak, parliamentary threshold, president threshold. Seharusnya kita berpikir sekarang bukan 20 persen, bukan 15 persen. Tapi 0 persen dan 0 rupiah. Itu pak kalau kita ingin mengentaskan korupsi," kata Firli.

Menurut Firli, dengan PT 0 persen dan 0 rupiah, tidak ada lagi demokrasi di Indonesia yang diwarnai dengan biaya politik yang tinggi. Sebab, biaya politik tinggi menyebabkan adanya politik transaksional. Padahal, di era reformasi yang sudah bertransformasi ini, keterbukaan merupakan ruh daripada demokrasi di Indonesia.

Dengan keterbukaan, kata Firli, seharusnya tidak ada lagi celah untuk korupsi ataupun transaksional di ruang gelap yang kelam dan saat malam gelap gulita. "Maknanya apa? Maknanya kita setelah tertutup seharusnya semuanya transparan, semuanya akuntabel, semuanya bisa dipertanggungjawabkan. Tidak perlu adanya politik yang mahal, tidak perlu," katanya.