Bagikan:

JAKARTA - Saat ini, pemerintah sedang menyempurnakan naskah akademik Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Namun, ternyata sampai saat ini Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin mengaku pihaknya belum pernah diajak bicara oleh pemerintah secara formal untuk menyusun draft RUU KKR tersebut.

Padahal Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat ini menegaskan Komnas HAM sudah seharusnya dilibatkan sejak dari awal.

"Jangan sampai draft RUU KKR disusun secara sepihak, yang kemudian hari mendatangkan penolakan. Sebab, di masa lalu yaitu tahun 2006, MK pernah membatalkan UU KKR yang telah disahkan oleh pemerintah," kata Amiruddin dalam keterangannya, Minggu, 12 Desember.

Mengingat pentingnya RUU KKR, Amiruddin menegaskan sebaiknya pemerintah terbuka sedari awal dalam menyusun draft tersebut, serta melibatkan banyak pihak, terutama perwakilan keluarga korban dan korban.

Lebih lanjut, Amiruddin mengungkapkan sampai hari ini, penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui proses non-yudisial selalu menjadi wacana pemerintah dari tahun ke tahun.

"Ada baiknya pemerintah berhenti berwacana, dan mulai menunjukan langkah dan konsep yang jelas tentang apa yang dimaksud langkah nonyudisial itu," ucap dia.

Sebagai informasi, RUU KKR disusun untuk menjamin pemenuhan hak pemulihan atas korban pelanggaran HAM dan menjamin agar pelanggaran tak terulang kembali.

UU KKR adalah dasar hukum yang ditujukan untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disahkan.

KKR adalah mekanisme penyelesaian di luar pengadilan untuk pelanggaran HAM yang berat. Dunia telah mengenal mekanisme ini sejak lama. Mekanisme ini sudah ditempuh diberbagai negara, seperti Afrika Selatan dan Korea Selatan, serta beberapa negara di Amerika Latin setelah pemerintahan-pemerintahan otoriter jatuh di negara-negara tersebut oleh gerakan demokratisasi.