Bagikan:

JAKARTA - Langkah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk mengusut kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diapresiasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hanya saja, mereka mengingatkan agar para penjahat HAM di masa lalu harus tetap diseret ke pengadilan.

Hal ini disampaikan oleh Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. Dia mengatakan, idealnya komisi ini benar-benar bisa membuka fakta di balik terjadinya kasus pelanggaran HAM, termasuk pelaku lapangan dan pelaku intelektualnya. Tak hanya membuka, pelaku ini harus diadili di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka.

"Kalau ngomong KKR enggak ngomong pengadilan, ini berarti KKR jadi-jadian yang enggak sesuai dengan prinsip HAM," kata Choirul kepada wartawan di Kantor Komnas HAM, Jalan Laturharhari, Jakarta Pusat, Kamis, 28 November.

Dia memaparkan, KKR yang bakal dibentuk pemerintah ini tidak boleh hanya mengedepankan penyelesaian secara non-yudisial dengan tujuan pemberian amnesty atau pengampunan bagi mereka yang dianggap bersalah dalam kasus pelanggaran HAM berat.

"Kan, dorongannya mau kayak gini. Gaya lama KKR-nya kan gitu yang di UU 27 Tahun 2004. Itu enggak boleh terjadi lagi. KKR yang ideal adalah KKR yang membuka kebenaran," tegasnya.

Choirul juga mengatakan, berdasarkan aturan UU 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, pelanggaran yang terjadi pada tahun 2000 wajib hukumnya untuk diselesaikan di pengadilan. Adapun tujuan membawa kasus ini ke meja hijau agar para pelaku bisa secara gamblang menjelaskan pelanggaran yang mereka lakukan.

"Kalau mengungkapkan kebenaran, mungkin tidak orang yang bertanggungjawab mau ngomong? Enggak mungkin. Makanya, orang yang paling bertanggung jawab diadili di pengadilan," jelas dia.

Perppu Pengadilan HAM

Komnas HAM juga memaparkan cara lain, agar pemerintah bisa segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, yang sudah mengendap begitu lama. Choirul mengatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) soal Pengadilan HAM juga bisa dikeluarkan oleh Presiden.

Dengan Perppu ini, maka mereka yang harus bertanggungjawab dengan kejahatan HAM bisa segera diurus dan diusut tuntas. "Bagaimana menyelesaikan (pelanggaran HAM) ini? Mau skema cepat atau lambat? Kalau skema cepat, Perppu," tegas Choirul.

Penyelesaian secara cepat lewat Perppu ini, kata Choirul sebenarnya lebih baik dibanding cara apa pun. Sebab, penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini bergantung dengan keterangan seseorang sebagai seorang saksi maupun korban. Selain itu, kebanyakan korban maupun saksi atau bahkan pelaku pelanggaran HAM sudah menua dan bahkan ada yang meninggal dunia.

"Pelaku mati, korban mati, saksi mati, terus dengan siapa kita menyelesaikannya? Nanti kita kehilangan kesempatan emas untuk membangun negara ini dengan pondasi kebenaran. Di situlah Perppu (Pengadilan HAM) jadi jawaban," ujar dia.

Sebelumnya, Menkopolhukam Mahfud MD menyebut akan mendorong Undang Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020.

"Harus masuk prolegnas dulu dong. Ini prolegnas belum jadi sudah bicara materi, gimana sih? Kan prolegnas masih akan disahkan tanggal 18 Desember berlaku tahun 2020," kata Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, 25 November.

Setelah masuk ke Prolegnas 2020, barulah proses pembahasan soal undang-undang tersebut akan segera dilaksanakan. "Setelah itu masuk prolegnas, urusan pembahasan," tegasnya.

Dalam melakukan perumusan komisi ini, Mahfud mengatakan pihaknya bakal mengajak keluarga korban dan koalisi masyarakat sipil. Tujuannya, agar pelanggaran HAM di masa lalu bisa segera diselesaikan.

"Semua akan kita dengar akan tetapi semua harus fair. Fair artinya harus terbuka. Jangan ngotot-ngotot, sudah tidak bisa masih aja ngotot gitu," ungkapnya.

Undang-undang yang mengatur soal KKR, sebenarnya bukan kali pertama kembali dimasukkan ke Prolegnas setelah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan laman dpr.go.id, KKR sebenarnya sempat masuk Prolegnas 2 Februari 2015.

Perundangan itu bahkan sudah masuk di tingkat II, yaitu menunggu pengambilan keputusan RUU menjadi UU oleh Rapat Paripurna atau persetujuan RUU menjadi UU. Hanya saja, tak jelas alasan Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR tersebut kemudian menguap begitu saja.