JAKARTA - Upaya pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menuai polemik. Pasalnya, ada selisih pendapat antara pemerintah dengan Komnas HAM yang mengatakan masyarakat ingin menyelesaikan kasus HAM melalui jalur yudisial atau pengadilan.
Bersama Litbang Kompas, Komnas HAM melakukan survei tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hasil dari survei itu, sebanyak 99,5 persen responden ingin agar KKR dihentikan. Mereka lebih sepakat pelanggar hak asasi diadili di pengadilan ketimbang lewat cara lain atau non-yudisial seperti KKR.
Survei dilakukan dengan metode penelitian multistage random sampling dengan 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi. Margin error sekitar 2,8 persen dan survei berlangsung pada September hingga Oktober 2019.
Di mana ada lima kasus pelanggaran yang diangkat oleh Komnas HAM dalam survei tersebut yaitu peritiwa 1965, penembakan misterius petrus 1982-1985, penculikan aktivis 1997-1998, penembakan Trisakti-Semanggi 1998, dan Kerusuhan Mei 1998.
"Hampir 99,5 persen (ingin penyelesaian kasus pelanggaran HAM) melalui pengadilan. 62,1 persen melalui pengadilan nasional, 37,2 persen melalui pengadilan internasional, 0,5 persen cara yang lain. Cara yang lain adalah KKR, rekonsiliasi," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat memaparkan hasil surveinya di kantornya, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Rabu, 4 Desember.
Dia berharap pemerintah bisa menggunakan survei ini untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi. "Hentikan KKR, karena kalau angka ini 99,5 persen mengatakan diselesaikan melalui pengadilan, dan memang yang lebih besar adalah harapannya di selesaikan di pengadilan nasional bukan di pengadilan internasional," ungkap Choirul.
Hasil survei itu juga mengungkap, publik mempresepsikan tak tuntasnya kasus pelanggaran HAM di masa lalu terjadi karena faktor politis dan ketidakmampuan presiden untuk merumuskan hal teknis.
Namun, Choirul mengatakan hambatan ini bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga di negara lain. Sehingga dia berharap penyelesaian kasus HAM di masa lalu jadi komitmen pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin, apalagi saat ini ada Mahfud MD yang menjadi Menkopolhukam.
"Kita berharap agak lebih misalkan di pemerintahan yang sekarang. Harusnya sebagai komando dinamika politik hukum dan hak asasi manusia di nasional, Pak Mahfud MD yang kita tenggarai tidak punya beban masa lalu harusnya bisa beresin ini, harusnya," tegasnya.
Diupayakan masuk prolegnas 2020
Walau menurut survei Komnas HAM dan Litbang Kompas sebanyak 99,5 persen masyarakat minta kasus pelanggaran hak asasi diselesaikan lewat jalur pengadilan, tapi langkah Menkopolhukam untuk menghidupkan KKR tampaknya makin gencar.
Rabu, 4 November kemarin, Mahfud mengundang sejumlah tokoh seperti Alissa Wahid, pengamat politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, stafsus Presiden bidang hukum Dini Shanti Purwono, Dirjen HAM Kemenkumham Mualimin Abdi, serta beberapa pihak lainnya untuk melaksanakan forum group discussion (FGD) terkait KKR.
Usai pertemuan itu, stafsus Presiden bidang hukum Dini Shanti Purwono mengatakan, pemerintah akan terus mencari formulasi sehingga akan mudah dalam pemetaan mana yang masuk ranah KKR dan ranah pro justitia.
Selain itu, pemerintah sudah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini bilang, pendaftarkan RUU KKR ini merupakan bukti keseriusan Presiden Jokowi untuk penyelesaian kasus HAM.
"Presiden sendiri jelas ya, hari ini kita mulai FGD, kemudian juga dari pemerintah kita kan sudah masukkan usulan-usulan untuk RUU dalam Prolegnas dalam usulan pemerintah itu sudah ada RUU KKR merupakan salah satu yang masuk dalam list prioritas," ungkap Dini di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat usai melaksanakan FGD.
Pemerintah, Dini bilang, akan terus berupaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seperti komitmen Presiden Jokowi. Ke depan, pemerintah juga akan mengupayakan agar RUU KKR ini menjadi prioritas pembahasan di DPR. "Jangan sampai nggak selesai, jadi maksimal sampai akhir tahun depan," tegasnya.
Dirjen HAM Kemenkumham Mualimin Abdi yang juga hadir dalam FGD tersebut kemudian menegaskan, kelemahan dalam UU nomor 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tak akan masuk ke dalam RUU KKR yang tengah digodok pemerintah.
Senada dengan Dini, Mualimin mengungkapkan pemerintah kini tengah memetakan kasus pelanggaran HAM berat mana saja yang bisa diselesaikan lewat jalur non yudisial dengan KKR dan mana yang bisa diselesaikan lewat jalur yudisial dengan pengadilan.
"Setelah nanti UU KKR dibahas, kalau itu jadi maka pemerintah yang kali ini diwakili Menko Polhukam, dan ada juga Jaksa Agung, maka melakukan verifikasi mana mana saja yang tidak bisa dibawa ke yudisial. Begitu ya. Kalo yang bisa dibawa ke yudisial ya dibawa ke yudisial," ungkapnya.
Sebelumnya, KKR ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004. Namun, pada tahun 2006 yang lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie membatalkan perundangan tersebut. Sebab, undang-undang ini dianggap tak memiliki konsistensi sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Namun tak hanya melakukan pembatalan, MK sebenarnya meminta agar UU KKR baru yang sejalan dengan UUD 1945 dan menjunjung tinggi prinsip hukum humaniter dan hukum HAM kembali dibentuk.
Berdasarkan laman dpr.go.id, KKR sebenarnya sempat masuk Prolegnas 2 Februari 2015. Perundangan itu bahkan sudah masuk di tingkat II, yaitu menunggu pengambilan keputusan RUU menjadi UU oleh Rapat Paripurna atau persetujuan RUU menjadi UU. Namun, tanpa alasan jelas, Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR tersebut kemudian menguap begitu saja.